Refleksi Atas Pemikiran Amina Wadud

 

Refleksi Atas Pemikiran Amina Wadud

Ahlan (20205031046)

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Al-Quran Tafsir Konsentrasi Studi Hadits

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

 

Saat ini tak dapat kita pungkiri bahwa modernisme telah menyelimuti segala aspek kehidupan.  Itu artinya Islam pun telah terselimuti oleh modernisme. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana Islam dapat menyambut modernisme ini, tapi tetap sebagai Islam sebagaimana mestinya. Islam merupakan agama yang sempurna, jadi ketika modernisasi datang pun, Islam mampu mengadaptasikan dirinya menjadi bagian yang merupakan sebuah keharusan untuk berperan dalam modernisme.

Memandang   keadaan   modernisme   yang   telah   terjadi,   maka   kita   pun mengetahui tokoh-tokoh modernisme. Modernisme ini selanjutnya mendukung adanya   feminisme,   yaitu   pembelaan   atas   perempuan   dalam   berbagai   hal. (Muslikhati, 2004, p. 12)

Sejumlah aktivis perempuan menyuarakan seruannya untuk melakukan reformasi pemikiran, diantara aktivis tersebut adalah seorang wanita yang bernama Amina Wadud Muhsin. Dalam   pemikirannya   ini, beliau mengupas secara habis   bagaimana pandangan Al-Quran terhadap perempuan yang sering disalahartikan   oleh masyarakat, terurtama laki-laki. Dewasa ini  kita seringkali menemukan seorang mufassir, yang notabene adalah laki-laki, maka tidak menjadi aneh ketika seorang mufassir menjadikan derajat perempuan di bawah derajat laki-laki. Oleh karena hal- hal tersebut, maka diperlukannya pemikiran yang lebih terbuka namun berintelektual dan memenuhi kaidah sistematis dan logis untuk menjawab kesalah kaprahan ini. Maka selanjutnya beliau menuangkan suaranya dalam pola pemikiran feminis dan tetap berdasarkan ayat-ayat Al-Quran.

Pemikiran Amina Wadud

Konsep Keadilan Jender (Gender Justice) dalam Al-Quran

 

Amina wadud, merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir islam wanita yang berani memberikan kritik atas beberapa penafsiran terhadap ayat-ayat gender. Kritikkan Wadud pertama kali muncul karena ketidak setujuannya atas beberapa penafsiran dalil yang berindikasi merendahkan perempuan. Sehingga dalam memulai kritikannya tersebut Wadud menggunakan metode Hermeneutika Fazlurrahman. Bagi wadud, hermeneutikanya sangat tepat untuk menjadi alat pembedah atas kekeliruan yang sudah dilakukan tersebut. Secara studi keilmuan langkah yang diambil oleh Wadud sudah sangat tepat, mengingat bahwa, kitab suci merupakan pedoman bagi seluruh makhluk, sehingga sangat tidak rasional apabila kemudian menjadi penyebab terjadinya ketimpangan dalam penerapannya atas penganutnya sendiri.

Berikut ini akan diuraikan beberapa hal terkait dengan ayat-ayat tentang keadilan jender dalam al-Qur’an serta sejumlah kontroversi hak dan peran wanita yang kerapkali ditafsirkan oleh Wadud sebagai bentuk pembelaan atas wanita. Sehingga dapat di ukur sejauhmana sebuah epistemologi kajian yang ditawarkan oleh Wadud.

1.      Penciptaan manusia

 

Pada dasarnya proses penciptaan manusia terdiri atas tiga tahap, yaitu permulaan penciptaan, pembentukan atau penyempurnaan, dan pemberian kehidupan. Analisis ini berdasarkan Surat Shaad ayat 71-72:

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".

Dalam Al-Quran kata khalaqa merujuk pada tahap pertama, yaitu permulaan penciptaan, namun dalam hal lain kata khalaqa juga digunakan untuk tahap kedua, yaitu pembentukan, dimana ketika setiap manusia diciptakan, maka segala sesuatu juga diciptakan. Sedangkan kata shawwara, yang berarti membentuk atau menyempurnakan, juga masuk dalam tahap kedua, yang terdapat dalam surat Al- Mu’minun ayat 64 dan surat At-Tin ayat 4:

Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

 

Dari pandangan yang telah dikemukakan oleh Wadud, bagi penulis itu merupakan hal yang sangat tepat, karena sesungguhnya secara epistem, cara Wadud memberikan kritikan sangat mendasar dan penting untuk di terapkan. Secara keilmuan sosial, bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki hak yang sama, sehingga tidak pantas kemudian ada yang superior dan ada yang menjadi imperior.

Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika al-Qur’an membahas penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai yang disandang oleh pria dan wanita, oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria ( Wadud, 2006, p. 85). Penafsiran berasumsi bahwa laki-laki melambangkan norma, sehingga seakan laki-laki dianggap sebagai manusia sempurna, sedangkan perempuan terkesan sebagai manusia yang kurang sempurna. Dari penafsiran ini maka menimbulkan berbagai pembatasan atas hak-hak perempuan. Amina berpendapat Al-Quran bertujuan untuk menegakan keadilan sosial, namun pada kenyatannya hal ini tidak sepenuhnya menyentuh untuk mengangkat kaum perempuan. Amina menjelaskan bahwa yang pertama dari kita adalah memang seorang laki-laki, yaitu Adam. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal, yaitu proses penciptaan manusia. Semua manusia diciptakan di dalam rahim ibunya. Oleh  karena  itu,  tidak  ada  batasan untuk perempuan dalam berkarya dan tidak ada larangan bagi perempuan untuk melakukan segala hal yang mungkin pada umumnya lumrah dilakukan oleh laki- laki,  karena  pada kenyataannya,  perempuan juga  mampu melakukan segala  hal yang dapat membangun dan juga dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat. Pada intinya dari pendapat Wadud, yang menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan terlepas dari jenis kelaminnya adalah potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu.

2.      Persamaan Ganjaran di Akhirat

Laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk membarengi keimanan mereka dengan  tindakan,  sehingga  dengan  begitu  mereka  akan  diganjar  dengan  pahala yang besar. Jadi, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Quran tidak membedakan pahala yang dijanjikannya.

Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.

Amina menekankan kata man dan ulaika. Kedua kata tersebut mengandung pengertian netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus perempuan. Sehingga masing-masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu. Al-Qur’an menjelaskan bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan adalah dua hamba Allah yang sama-sama diciptakan dengan bahan yang sama, setelah itu tidak ada perbedaan yang lebih mencolok atas keduanya, kecuali dalam bentuk fisik, namun yang  perlu  digarisbawahi  adalah  perempuan  dan  laki-laki  adalah  sama-sama sebagai individu. Maka, yang membedakan diantara kedua individu ini adalah takwa. Istilah takwa ini dapat diartikan sebagai keshalehan , yaitu melakukan hal-hal yang  shaleh  atas  kesadaran  dan  menjalankan  perilaku  tersebut  karena  takzim kepada Allah SWT.  Hal ini lebih jelas terdapat dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan kekayaan, kebangsaan, jenis kelamin, atau apa pun, melainkan berdasarkan takwa. Perlu kita ketahui pula bahwa ayat tersebut di atas merupakan kelanjutan dari ayat yang melarang manusia untuk saling mengolok, menggunjing, dan mencari-cari kesalahan satu sama lain. Oleh karena itu dari serangkaian ayat tersebut kita dapat menyimpulkan tidak ada alasan bagi kaum laki-laki untuk mencari-cari   kesalahan terhadap kaum perempuan. Dari hal ini maka kita juga akan mengetahui atas perilaku takwa yang dilakukan oleh individu, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan balasan yang adil. Mengenai balasan, Al-Quran menjelaskan bahwa balasan yang diperoleh oleh setiap individu bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan amal yang dikerjakan oleh tiap-tiap individu sebelum mati. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Jatsiyah ayat 21-22:

Apakah  orang-orang  yang  membuat  kejahatan  itu  menyangka  bahwa  Kami  akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?  Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.

3.      Derajat Dan keutamaan Perempuan

 

Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat antara pria dan wanita dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak  boleh  mereka  Menyembunyikan  apa  yang  diciptakan  Allah  dalam  rahimnya,  jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para  suami,  mempunyai  satu  tingkatan  kelebihan  daripada isterinya  dan  Allah  Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut di atas sering diartikan bahwa adanya derajat diantara semua laki-laki dan perempuan. Kalau lebih diamati secara jelas, konteks pembahasan pada ayat ini menekankan tentang perceraian, di mana dalam ayat tersebut terlihat kelebihan yang diberikan oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Dalam hal ini kelebihan yang dimiliki laki-laki adalah mereka dapat menjatuhkan talak terhadap istri mereka tanpa adanya bantuan atau arbitrasi, sedangkan perempuan dapat dikabulkan talaknya jika ada intervensi dari pihak yang berwewenang, katakanlah dalam hal ini hakim. Jika kita memperhatikan ayat tersebut di atas, terdapat kata maruf. Kata ma’ruf ini merupakan berhubungan dengan bagaimana perlakuan laki-laki terhadap perempuan, maka selanjutnya Amina berpendapat bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita. Kata ma’ruf diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan keutamaannya, bahwa hal tersebut dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan pria adalah sama Perbedaan utama perempuan dengan laki-laki adalah terletak pada kemampuannya melahirkan anak, maka hal ini dianggap sebagai fungsi utama mereka. Penggunaan fungsi utama ini kadang memiliki konotasi negatif, karena kata ini meyakini sebagian orang menganggap bahwa perempuan hanya bisa menjadi ibu. Oleh karena hal tersebut, maka pendidikan kepada perempuan harus diarahkan pada pembentukan istri yang taat dan ibu yang ideal, yaitu yang mampu mengurus serta mendidik anak-anaknya, serta mampu menjadi istri ideal sebagaimana suami memayoritaskan tipe ideal bagi istrinya. Padahal Al-Qur’an tidak  menjelaskan bahwa kemampuan melahirkan perempuan tidak menjadi hal yang utama dan menjadikan seorang ibu merupakan peran absolut bagi seorang perempuan.

Mengenai derajat yang diperoleh melalui amal, Al-Quran menetapkan beberapa  poin  yang  akan  mempengaruhi,  yaitu  pertama  amal  yang  dilakukan karena ketakwaan akan lebih bernilai. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 32:

Dan  janganlah  kamu  iri  hati  terhadap  apa  yang  dikaruniakan  Allah  kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Pengertian lain untuk ungkapanbagian dari apa yang mereka kerjakam” adalah bahwa ketika seseorang menunaikan pekerjaan yang lazimnya dilakukan oleh lawan jenisnya. Sebenarnya tidak ada indikasi bahwa perempuan itu amoral melakukan pekerjaan tersebut, sebab ia melakukan pekerjaaan tersebut demi kelangsungan hidupnya. Katakanlah hal ini dilakukan oleh seorang perempuan yang menjadi tulang punggung di keluarganya, sehingga pekerjaan itu menjadi sebuah keharusan.

Kedudukan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh apa yang telah Allah lebihkan. Tidak semua laki-laki lebih baik daripada semua perempuan dalam segala hal. Sebagian laki-laki bisa terlihat lebih baik daripada perempuan, begitu juga perempuan bisa terlihat lebih baik daripada laki-laki (Kamla Bhasin, 2007, p. 26). Maka dari hal ini dapat tersimpulkan bahwa kelebihan apapun yang diberikan Allah tidaklah bersifat absolut.

4.      Perceraian

Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah dibahas tadi, yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas wanita, telah dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-Qur`an- yaitu pria memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa saja berkata saya ceraikan kamu untuk memulai tata cara perceraian. Al-Qur`an memang tidak tidak menyebutkan adanya wanita-wanita yang meminta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak. Kesimpulan terakhir sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman pra-Islam dimana wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang pria. Tidak ada satu petunjukpun dalam al- Quran yang mengisyaratkan bahwa seluruh kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita. Yang lebih penting lagi menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai dilakukan dengan cara ma’ruf dan menguntungkan kedua belah pihak.

Demikianlah beberapa konsep keadilan jender dalam  al-Qur`an  menurut Amina Wadud. Sebuah usaha untuk menyampaikan tujuan ajaran al-Qur`an mengenai keadilan bagi seluruh umat Islam. Beberapa persoalan lain yang ia gagas tampak  lebih  fleksibel  dan  dekat  dengan konsep  keadilan  yang  diusung  ajaran Islam, seperti masalah perawatan anak, dimana ia menekankan bahwa hal tersebut bukan hanya merupakan kewajiban istri saja, tapi merupakan kewajiban suami dan istri sebagaimana tersurat dalam Surat Al-Baqarah ayat 233.

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan  karena  anaknya  dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih  (sebelum dua tahun) dengan  kerelaan  keduanya dan  permusyawaratan,  Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Apalagi di dalam sebuah rumah tangga bukan hanya suami yang bekerja, tapi istri juga dituntut memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini sangat baik untuk diterapkan sehingga kedua belah pihak dapat terjalin kemitraan dan kebersamaan tanpa ada salah satunya yang tertindas. Reinterpretasi yang ia lakukan diharapkannya dapat menjadi budzur dari terciptanya fikih berkeadilan jender. Dasar pijakannya yaitu tujuan dari ajaran Islam adalah keadilan antara spesies umat manusia.

5.      Poligami

Banyak muslim menganggap bahwa poligami ini dihalalkan, terutama kaum laki-laki. Hal ini memang benar, namun perlu analisis lebih lanjut yaitu mengenai keadilan. Namun kita juga perlu mengamati lebih lanjut, bahwa keadilan yang dimaksudkan adalah hanya sebatas materi. Materi dijadikan sebagai ukuran dari keadilan para suami yang ingin melakukan poligami. Maka yang terjadi adalah ketika seorang suami merasa materinya telah cukup, bahkan lebih, dengan mudah ia juga mengatakan dirinya telah mampu adil terhadap istrinya jikalau dia melakukan poligami. Mengapa keadilan yang selalu dibahas dalam hal ini lebih ke arah adil terhadap istrinya, padahal anak juga sangat membutuhkan keadilan.(Wadud, 2006, p. 148)

Alasan seorang suami melakukan poligami pada dasarnya ada tiga alasan, yaitu masalah finansialnya yang merasa sudah memiliki kelebihan, keinginan untuk memiliki anak, namun istrinya mandul, dan yang terakhir adalah karena adanya nafsu yang tidak terpenuhi dari sang istri. Hal ini sebenarnya sungguh tidak adil bagi perempuan, lalu di mana letak kesetian seorang suami pada istrinya jika dia tidak mampu menerima apa yang ada pada istrinya. Padahal permasalahani ini dapat diselesaikan dengan cara yang  baik, yang  ma’ruf, sehingga tidak  adanya keputusan untuk berpoligami.

Lebih lanjut lagi, terlihat sekali betapa terbukti kesetian seorang istri, karena ia dapat menerima apa adanya segala sesuatu yang terjadi pada suaminya. Oleh karena itu, hal yang diputuskan adalah lebih baik dipoligami daripada bercerai. Dari hal ini seharusnya laki-laki melihat betapa setianya seorang istri yang rela dimadu hanya karena kebutuhan pribadi suaminya. Ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang poligami ini terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Jangan menjadikan ayat ini sebagai landasan sehingga menghadirkan sebuah alasan untuk melakukan poligami, namun tidak memenuhi persyaratan untuk melakukan poligami. Masalah poligami ini sebenarnya lebih ke arah batin seorang istri. Hal inilah yang perlu dikaji oleh kaum laki-laki.

6.      Kesaksian

Satu laki-laki setara dengan seorang perempuan, tetapi seorang perempuan tak setara dengan satu orang laki-laki. Hal inilah yang terjadi dalam sebuah persaksian. Hal ini terdapat dalam surat Al-baqarah ayat 282:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.

Berdasarkan ayat tersebut, maka kedua perempuan itu tidak dianggap sebagai saksi, tapi yang satu dikatakan sebagai pengingat bagi perempuan yang satu, maka dari hal ini terlihat adanya perbedaan fungsi dari kedua perempuan ini dalam menjadi saksi. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut, karena tidak selamanya saksi seorang laki-laki itu cukup, namun saksi seorang perempuan tidak cukup. Pada masa sekarang ini, di era yang modern, potensi seorang perempuan harus lebih ditingkatkan untuk mendorong dalam melakukan setiap kontribusi terhadap sistem sosial yang adil, yang menghindari pengeksploitasian.

Maka berdasarkan ayat di atas, pertimbangan menyangkut kesaksian dalam ayat ini bersifat spesifik untuk beberapa jenis perjanjian finansial, dan tidak berlaku untuk umum. Pembatasan menyangkut transaksi finansial ini tidak berlaku pada perkara lainnya. Penghadiran saksi untuk perkara lainnya seharusnya tidak didasarkan jenis kelamin tertentu, sehingga siapa saja pun yang dianggap menjadi saksi berhak menjadi saksi.

Bagi penulis sendiri, langkah yang telah dilakukan oleh Amina Wadud sebagai seorang intelektual dan seorang feminis sudah sangat tepat dan seharusnya memang demikian. Karena dengan berusaha memberikan kritikkan atas penafsiran klasik, maka pengetahuan masyarakat terhadap agama akan semakin terbuka dan tidak membabi buta, karena mengingat islam merupakan agama Washatiyah yang dalam penerapan atas ajarannya selalu menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi umatnya. Amina Wadud sebagai seorang aktivis dan tokoh Feminis tidak saja berhasil memberikan pengetahuan kepada masyarakat, tetapi juga dapat memberikan pengetahuan yang dalam, sehingga membuat mereka berpikir dan memperhatikan kembali persoalan tentang konsep kesetaraan gender dalam Islam. Pemikir dan aktifis feminis hari ini harus kemudian memiliki sikap kritis terhadap hak–hak wanita dalam Islam melalui kajian-kajian kritis terhadap teks-teks primer dan sekunder agama.

 

Referensi

Kamla Bhasin. (2007). Feminisme Dan Relevansinya. PT Gramedia Pustaka Utama.

Muslikhati, S. (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Gema Insani.

Wadud, A. (2006). Qur’an and Woman, Terj. PT Serambi Ilmu Semesta.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima