Intelektual Organik Vs Akademisi Penuh Gimik


Beberapa dekade lalu, kuliah adalah simbol perjuangan. Anak desa merantau ke kota, mengayuh sepeda, membawa bekal dari kampung, mengendap-endap ke perpustakaan demi membaca buku yang hanya ada satu eksemplar. Mereka kuliah karena lapar—bukan lapar pujian, tapi lapar pengetahuan. Kini, kampus tak ubahnya catwalk. Gelar adalah asesoris, bukan kesadaran. Foto wisuda lebih penting dari isi skripsi. S2 dijadikan bahan konten, S3 jadi alat branding. Ilmu? Ah, itu bonus. Yang penting eksis.

Fenomena ini bukan dongeng. Ia hidup dan berdetak di setiap sudut ruang kuliah. Tak percaya? Coba tanya mahasiswa hari ini: mengapa kuliah? Sebagian akan menjawab: “Biar gampang dapat kerja.” Sebagian lagi, “Biar keren di CV.” Yang menjawab “karena ingin tahu dan mengubah dunia” akan dipandang aneh. Hari ini, yang idealis dianggap utopis, yang gimik dianggap realistis.

Kita sedang hidup di era ketika pengetahuan bukan lagi soal isi, tapi bungkus. Perkuliahan bukan lagi upaya menggugat realitas, melainkan menggugurkan kewajiban. Dosen memberi tugas, mahasiswa menyalin dari ChatGPT. Dosen memberi jurnal, mahasiswa hanya baca abstraknya. Skripsi dibayar di jasa pengetikan, bukan dikerjakan dengan tangisan. Tapi semua tetap lulus, bahkan cumlaude. Selamat datang di era ilmu instan, gelar instan, kesadaran kosong.

Tak heran jika hari ini kita kebanjiran sarjana, magister, dan doktor—tapi kekeringan intelektual. Lulusan perguruan tinggi mencetak gelar sebanyak mungkin, tapi tak tahu bagaimana menghadapi persoalan sosial paling dasar. Mereka pandai membuat makalah dengan gaya bahasa akademik, tapi gagap melihat ketidakadilan di depan mata. Yang dicari bukan kebenaran, tapi kepuasan algoritma LinkedIn dan status sosial.

Filsuf Italia Antonio Gramsci pernah bicara tentang intelektual organik. Ia bukan yang paling pandai menulis teori, tapi yang paling dekat dengan rakyat dan kenyataan. Intelektual organik bukan sekadar mengamati kemiskinan dari balik kaca kampus ber-AC, tapi menyingsingkan lengan, hadir, dan bekerja di dalamnya. Mereka tidak sekadar mengkritik struktur, mereka bagian dari perjuangan mengubah struktur itu.

Tapi hari ini, yang lebih laku adalah akademisi penuh gimik. Mereka hadir di konferensi internasional hanya untuk berbicara tentang kemiskinan yang tidak pernah mereka alami. Mereka menulis jurnal Scopus tentang moralitas masyarakat desa, padahal mereka tak pernah bersentuhan langsung dengan desa. Mereka bicara inklusi sosial, sambil menolak diskusi dari mahasiswa yang “terlalu kiri”. Dan yang paling menyedihkan: mereka tetap dielu-elukan, karena prestasi akademiknya mentereng—walaupun kontribusinya terhadap realitas tak pernah jelas.

Intelektualitas telah direduksi menjadi kompetisi administratif. Skor Sinta lebih penting dari sensitivitas sosial. H-index lebih dihormati daripada integritas. Gelar lebih dipuja dari karakter. Maka tak heran, pendidikan tinggi hari ini melahirkan lulusan yang penuh ambisi tapi hampa empati. Mereka pandai membuat proposal proyek, tapi gagap saat diminta bicara etika. Mereka jago membuat presentasi, tapi tak punya pendirian.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, dengan lantang berkata bahwa pendidikan sejatinya adalah praktik kebebasan, bukan penjinakan. Tapi lihatlah ruang-ruang kelas hari ini: dosen menjadi hakim, mahasiswa menjadi robot penghafal. Tak ada ruang bagi keberanian bertanya, apalagi menggugat. Mereka yang kritis justru dicap pembangkang. Dan ironisnya, semua ini dibungkus dalam jargon: “Merdeka Belajar”.

Maka, ketika kita bicara tentang intelektual hari ini, kita sebenarnya sedang menghadapi dilema besar: bagaimana membedakan mereka yang benar-benar belajar dengan mereka yang hanya sedang memoles citra? Mereka yang mencari ilmu dengan mereka yang mencari gelar?

Coba lihat tren konten anak muda di TikTok: tips cepat kuliah S2 di luar negeri, tips lulus S3 sebelum usia 30, tips beasiswa LPDP, tips lolos wawancara doktoral. Tapi di mana konten yang membahas isi kuliahnya? Di mana yang mengangkat kegelisahan intelektual? Hampir tak ada. Yang dipamerkan hanyalah pencapaian administratif, bukan perenungan akademik.

Yang lebih tragis: sebagian besar dari lulusan ini, ketika pulang ke tanah air, bukan membawa perubahan, tapi malah menjadi birokrat baru. Mereka membawa gelar untuk dipajang, bukan untuk menggerakkan. Ilmu dijadikan komoditas, bukan komitmen.

Sementara itu, intelektual organik—yang tidak punya gelar cemerlang, tapi bekerja di komunitas, mendampingi petani, mengajar anak-anak jalanan—justru sering diabaikan. Mereka tidak punya waktu membuat konten, karena sibuk membuat perubahan. Mereka tidak dikenal kampus, tapi dikenal masyarakat. Mereka tidak diwawancara media, tapi diwawancara nurani.

Tentu saja tidak semua akademisi adalah pemburu gimik. Masih ada dosen yang mengajar dengan hati, yang tetap membaca buku baru meski usianya tak muda. Masih ada mahasiswa yang membaca buku lebih banyak dari jumlah followers-nya. Tapi suara mereka pelan, tenggelam dalam gemuruh pencitraan.

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang membentuk karakter berpikir, bukan sekadar pabrik gelar. Tapi ketika orientasinya hanya pada peringkat kampus, akreditasi, dan kinerja administratif, maka nilai-nilai keilmuan perlahan digantikan oleh indikator kuantitatif. Jumlah artikel lebih penting dari kualitas pengaruhnya. Banyak dosen yang akhirnya lebih sibuk menjadi "content creator ilmiah" daripada menjadi pembimbing intelektual sejati.

Di sisi lain, mahasiswa juga dididik untuk menyukai kepraktisan. Jika dulu idealisme menjadi bahan diskusi panjang di kantin, sekarang digantikan oleh diskusi: “Gimana cara cepat dapat sertifikat seminar nasional?”

Kita sedang krisis intelektual. Krisis ini bukan karena generasi muda tak cerdas, tapi karena sistem pendidikan membentuk mereka menjadi pelari cepat, bukan pelamun kritis. Mereka didorong menyelesaikan studi secepat mungkin, tapi tak pernah diajak duduk sejenak untuk merenung: untuk siapa aku belajar?

Dan dalam krisis itu, muncullah dua jalan: menjadi intelektual organik atau akademisi penuh gimik. Yang pertama mungkin tak akan viral, tapi akan terus relevan. Yang kedua mungkin viral, tapi hanya sebentar. Sejarah akan memilih siapa yang layak dikenang.

Maka pertanyaannya kini: apakah kita belajar untuk menambah kesadaran atau hanya sekadar menambah gelar? Apakah kita kuliah untuk tahu lebih dalam atau hanya untuk tampil lebih keren?

Mungkin kita perlu mengingat bahwa gelar hanyalah stempel administratif. Tapi kesadaran, keberpihakan, dan keberanian intelektual—itulah yang membuat ilmu menjadi hidup. Karena ilmu tanpa keberpihakan hanyalah akumulasi data. Tapi ilmu dengan nurani bisa mengguncang dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima