Cumlaude: Indeks Prestasi atau Indeks Sensasi dalam Pendidikan Modern?
“Selamat ya, cumlaude!”
Kalimat itu kini tak sekadar ucapan penuh kebanggaan, tapi bisa jadi satire terselubung dalam upacara pendidikan tinggi yang semakin sering terasa sebagai panggung pertunjukan. Di tengah sorak-sorai prosesi wisuda dan lembaran toga yang berterbangan di udara, terselip sebuah pertanyaan menggigit: apakah predikat cumlaude masih mencerminkan kualitas intelektual sejati, atau justru telah direduksi menjadi simbol kesuksesan semu dalam sistem pendidikan yang kian terjebak dalam logika pasar?
Kita hidup di era di mana indeks prestasi seolah menjadi satu-satunya termometer kesuksesan akademik. Seorang mahasiswa yang bisa menyapu semua nilai A, menghadiri kelas dengan presensi penuh, dan pandai memilih dosen yang ‘murah hati’ dalam memberi nilai, bisa dengan mudah meraih gelar cumlaude. Tapi mari jujur, apakah semua itu benar-benar menunjukkan kapasitas berpikir kritis, kedalaman analisis, atau kemampuan menghadapi kompleksitas sosial nyata? Atau justru menjadi akrobatik akademik yang terjebak dalam sistem angka dan algoritma?
Pakar filsafat pendidikan, Paulo Freire, pernah menggugat sistem pendidikan bank (banking education), di mana siswa dianggap sebagai tabungan kosong yang perlu diisi oleh guru. Dalam konteks hari ini, sistem itu tak hanya hidup, tapi makin canggih: mahasiswa menjadi ‘rekening digital’ yang dikejar target IPK setinggi langit, sementara refleksi, empati, dan kesadaran sosial tertinggal sebagai debu di kaki meja dosen.
Sistem pendidikan tinggi kita, secara mengejutkan, telah melahirkan para ‘cumlaude’ yang bisa jadi tak paham benar mengapa ia belajar. Ia mengejar angka, bukan makna. Ia mencintai pujian, bukan pengetahuan. Ia berlari di treadmill akademik yang tak pernah berhenti, tapi tak pernah benar-benar tahu ke mana arah tujuan perjalanannya. Ia jadi “hewan yang dijinakkan” oleh mekanisme kampus yang menyamar dalam jargon-jargon "unggul, terdepan, dan kompetitif".
Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Dunia pendidikan kita kini dirasuki oleh semangat neoliberalisme—semuanya diukur, diawasi, diakreditasi. Perguruan tinggi berlomba mengejar ranking, akreditasi, dan capaian-capaian kuantitatif yang mudah dijual dalam brosur. Di tengah semangat itu, para mahasiswa belajar untuk bersaing, bukan berkolaborasi. Mereka lebih takut tidak mencapai target IPK daripada tidak memahami substansi kuliah. Lebih khawatir tak masuk 10 besar kelas ketimbang gagal memahami realitas sosial masyarakat di sekitarnya.
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut masyarakat kita sebagai “masyarakat cair”—segala sesuatu bergerak cepat, dangkal, dan mudah dibentuk. Predikat cumlaude hari ini pun seolah menjadi label cair: bisa melekat pada siapa saja, dengan cara apa saja, selama algoritma sistem membolehkannya. Ini bukan sekadar persoalan etika akademik, tapi mencerminkan krisis mendalam tentang makna pendidikan itu sendiri.
Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan. Pendidikan yang sehat harusnya mendorong manusia untuk berpikir bebas, membentuk kesadaran kritis, dan menciptakan perubahan. Tapi dalam sistem saat ini, pendidikan lebih mirip pabrik yang memproduksi lulusan seragam dengan kompetensi sesuai selera pasar. Ijazah adalah ‘produk’, mahasiswa adalah ‘klien’, dan dosen tak ubahnya tenaga kerja yang harus memenuhi KPI. Di tengah semua ini, predikat cumlaude menjadi ‘stiker premium’ yang dibanggakan, meski isinya bisa jadi kosong.
Mari kita lihat fakta lapangan. Tak sedikit lulusan cumlaude yang kaku dalam wawancara kerja, lemah dalam kemampuan komunikasi, dan minim empati sosial. Di sisi lain, ada mahasiswa yang mungkin IPK-nya ‘biasa saja’, tapi aktif di komunitas, kritis terhadap isu-isu sosial, dan punya sensitivitas tinggi terhadap ketidakadilan. Siapa yang lebih ‘terdidik’? Apakah pendidikan hanya soal angka dan transkrip?
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Frasa “menuntun kekuatan kodrat” adalah tamparan bagi kita yang terlalu sibuk mengukur pendidikan dengan indeks dan nilai. Di mana ruang bagi anak muda untuk bertanya, mengkritik, menyimpang dari pakem, atau bahkan gagal, tanpa distigma?
Gelar cumlaude pada akhirnya bukan dosa, tapi bisa menjadi racun bila dimaknai sebagai tujuan akhir pendidikan. Ia harusnya menjadi hasil sampingan dari proses belajar yang jujur, reflektif, dan bermakna. Tapi ketika cumlaude dijadikan standar tunggal keberhasilan, kita sebenarnya sedang membangun menara gading yang rapuh. Kita membiarkan generasi muda menjadi korban dari pendidikan yang sibuk menciptakan ilusi keberhasilan.
Inilah saatnya kita bertanya: apa kabar pendidikan sebagai alat perubahan sosial? Apa kabar pendidikan yang menumbuhkan nalar, bukan sekadar nilai? Mungkin sudah waktunya kita ubah narasi dari “selamat ya, cumlaude!” menjadi “selamat ya, sudah belajar menjadi manusia seutuhnya.”
Sebagaimana Ivan Illich pernah menyindir lewat gagasannya tentang deschooling society, mungkin kita perlu ‘membongkar’ cara kita memaknai sekolah dan pendidikan. Pendidikan bukan sekadar kurikulum dan gelar, tapi proses panjang menjadi manusia yang utuh—yang berpikir, merasa, dan bertindak secara etis dalam realitas yang kompleks.
Jadi, saat kita tepuk tangan untuk lulusan cumlaude, mari selipkan juga pertanyaan sunyi dalam hati: apakah ia juga cumlaude dalam memahami hidup, realitas sosial, dan tanggung jawab sebagai warga dunia? Ataukah kita hanya sedang merayakan indeks sensasi pendidikan yang gemerlap, tapi rapuh?
Jika pendidikan terus didefinisikan dalam bingkai kompetisi, angka, dan label, maka cumlaude hanya akan jadi etalase semu dalam mall pendidikan tinggi yang sibuk menjual mimpi, bukan membentuk manusia. Kita butuh pendidikan yang bukan hanya menghasilkan cumlaude, tapi membentuk manusia yang mampu berkata: aku berpikir, maka aku peduli. Aku belajar, maka aku bertanggung jawab. Bukan hanya aku lulus dengan pujian—tapi aku tumbuh, dengan kesadaran.
Al-Ghauts
Komentar
Posting Komentar