Islam dan Nilai-nilai Toleransi
Isu toleransi telah menjadi isu yang sangat menarik perhatian banyak pihak. Perkembangan isu tersebut menjadi semakin mencuat dengan munculnya berbagai pandangan dari berbagai pihak, mulai dari kalangan akademisi, peneliti sampai para kelompok agamawan. Hal tersebut mengingat konsep toleransi dalam tataran sosial merupakan suatu konsep yang sangat urgen untuk dibicarakan. Dengan menempatkan makna serta tujuan yang tepat kaitannya dengan nilai-nilai toleransi akan menghadirkan tatanan sosial yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Toleransi dalam berbagai ajaran agama dunia selalu menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan. Agama sebagai yang menjembatani manusia dengan Tuhannya harus mengajarkan nilai-nilai yang tidak mencederai absoluditas ajarannya. Sebuah agama harus menunjukkan pandangan hidup yang inklusif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Dengan sikap inklusivitas tersebut mengarahkan manusia yang beragama pada menghargai setiap perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat.
Semua agama pada dasarnya mengajarkan pada sikap menghargai perbedaan. Hanya saja pada praktek para penganutnya yang menunjukkan sikap tidak terbuka terhadap perbedaan. Sehingga dalam hal ini, agama tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang mengarah pada diskriminasi, persekusi dan tindakan-tindakan negatif lainnya yang terjadi pada masyarakat. Karena pada dasarnya setiap agama mengharapkan kesesuaian dan keselarasan hidup antar masyarakat. Jika terdapat agama yang mengarahkan ajarannya pada tindak kriminalitas serta tindakan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan maka perlu dipertanyakan kredibilitas dan otentitas ajarannya.
Islam sebagai salah satu agama samawi yang ajarannya langsung datang dari Allah SWT, mengajarkan umatnya untuk selalu menerapkan kedamaian dan keselarasan hidup. Islam dengan kelengkapan ajarannya tidak hanya membahas tentang konsep-konsep teologi semata, tapi juga membahas persoalan sosial kemanusiaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nasaruddin Umar, "agama merupakan seperangkat keyakinan dan amalan yang bersumber dari Wahyu, yang dipilih dengan kesadaran, untuk meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan akhirat".
Islam sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan Allah kepada manusia, sebagai penyempurna agama sebelumnya tidak menafikan ajaran agama lain dan tetap memberikan penghargaan berupa sikap menghargai. Sebagai agama yang mengajarkan untuk tidak memaksa, Islam menjadi sangat relevan untuk menjadi garda terdepan dalam rangka sebagai pendorong gerakan toleransi.
Salah satu karakter keagamaan yang ditonjolkan Islam adalah Ishlah. Ia diartikan sebagai upaya mendamaikan konflik. Sehingga dalam makna ini, salah satu tugas seorang muslim adalah mendamaikan konflik antar sesama manusia, tanpa memperhatikan perbedaan agama, ras, suku dan lain sebagainya, dengan mencari kesepahaman dan kesepakatan damai. Dengan prinsip tersebut kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara akan tetap terjalin dengan baik dalam tatanan sosial.
Perbedaan dalam Islam merupakan sunatullah yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Perbedaan merupakan tanda akan kekuasaan dan bagian dari kebenaran ajaran Islam yang dibawa Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Sebagaimana dalam firman-Nya, dalam QS. Al-Hujurat ayat 13;
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal"
Ayat di atas menjadi pedoman awal setiap muslim yang taat ketika berhadapan dengan sesama manusia. Dalam arti ini perbedaan menjadi hal yang harus dipahami dengan terbuka, tanpa harus menunjukkan sikap fanatis terhadap ajaran masing-masing. Kebenaran Islam tidak akan pernah hilang jika para penganutnya melakukan tindakan yang keliru, pun sebaliknya seorang muslim yang sadar dan taat tidak akan melakukan tindakan yang dapat mencederai agamanya.
Sebagaimana dalam penafsiran surah di atas menjelaskan bahwa manusia di mata Allah SWT adalah sama dan setara. Tidak dibenarkan jika ada yang saling merendahkan satu sama lain. Yang mampu membedakan manusia satu dengan manusia lainnya hanyalah derajat ketakwaannya.
Dapat disimpulkan melalui Surat Al Hujurat ayat 13, Allah SWT secara tegas melarang segala bentuk tindakan kebencian kepada sesama manusia dengan mengatasnamakan suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Pentingnya kesadaran dan meningkatkan rasa toleransi terhadap sesama perlu diwujudkan agar manusia tidak semena-mena melakukan tindakan diskriminasi, rasisme, atau tindakan sejenis lainnya. Selain Islam melarangnya, tindakan ini justru akan memecah belah bangsa dan menimbulkan kekacauan.
Lebih lanjut dalam tafsir As-Sa'di karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di menjelaskan bahwa melalui surat ini Allah SWT memberitahukan tujuan penciptaan Adam dan Hawa untuk mewariskan keturunan yang tersebar di muka bumi ini. Kemudian Allah SWT menyebarkan laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang banyak serta menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Yang tujuannya adalah agar dapat saling mengenal. Dengan mengenal satu sama lain, mereka dapat saling tolong-menolong, bantu-membantu, serta saling memenuhi hak-hak kerabat sekitar mereka tanpa menjadikan perbedaan sebagai alasannya.
Semangat toleransi yang diajarkan Islam tidaklah pasif tapi sebaliknya merupakan toleransi yang aktif dan konstruktif, artinya toleransi yang dibingkai dengan kewajiban moral setiap muslim untuk menegakkan kebajikan dan keadilan tanpa diskriminasi agama.
Semangat toleransi beragama yang diajarkan Islam bukanlah toleransi yang pasif, tetapi toleransi yang aktif dan konstruktif, yakni toleransi yang dibingkai oleh kewajiban moral untuk menegakkan kebajikan dan berlaku adil tanpa diskriminasi agama.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
''Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu masuk golongan yang ragu-ragu. Dan bagi tiap-tiap umat ada jurusan (orientasi hidup) yang ditujunya, maka berlomba-lombalah kamu menegakkan kebajikan.'' (QS Al-Baqarah: 147-148).
Perbedaan keyakinan atas agama tidak otomatis menghalangi untuk hidup secara rukun, damai, dan bersahabat. Bagi muslim, yang menjadi batas pemisah dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan antarnegara, bukanlah karena faktor perbedaan agama atau perbedaan kebangsaan, tetapi sikap memusuhi agama dan umat Islam.
Segi lain, perlu digarisbawahi bahwa umat Islam tidak dibenarkan memaksakan untuk mengikuti Islam. Karena agama dasarnya pada iman dan kemauan, dengan demikian segala bentuk pemaksaan sangat bertentangan dengan ajaran Islam, berdasar pada firman Allah: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ''la ikraha fiddin,'' tidak ada paksaan dalam agama. (QS Al-Baqarah: 256).
Hal itu, bukanlah hal baru dan tidak pernah dipraktekkan sebelumnya. Sejak awal Islam dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, salah satu ajaran pertama yang ditekankan adalah sikap toleransi terhadap sesama. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah di Madinah setelah terjadinya hijrah dan awal terbentuknya negara Islam. Piagam Madinah sebagai kitab undang-undang menjadi salah satu produk terbaik dalam sejarah yang merefleksikan semangat toleransi Islam. Meski dipimpin oleh seorang muslim yang sekaligus sebagai Nabi dan Rasul, tidak menjadikan piagam Madinah merepresentasikan kebutuhan umat Islam saja dengan menunjukkan sikap diskriminasi terhadap keyakinan lain. Tetapi, sebaliknya undang-undang yang termuat dalam piagam Madinah seimbang dalam menerapkan hukum antar keyakinan.
Tidak sampai itu, Islam masa awal menunjukkan kebenaran ajarannya dengan memberikan ruang yang bebas umat Yahudi dan Nasrani untuk menjalankan kewajiban agamanya layaknya kebebasan yang dirasakan oleh umat Islam. Tokoh muslim nasional, Muhammad Natsir menyebutkan, "Piagam Madinah adalah satu penjelmaan yang nyata dari prinsip kemerdekaan beritikad dan beragama menurut ajaran Islam. Posisi mayoritas menurut kita umat Islam, bukan untuk menindas minoritas, tapi justru untuk melindungi hak-hak mereka"
Argumen di atas, semakin dikuatkan oleh firman Allah SWT, dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9;
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Allah tidak melarang kamu berhubungan baik dengan orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu untuk menjadikan kawan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu atau membantu (orang-orang lain) untuk mengusirmu. Dan siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim"
Ayat tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa prinsip ajaran Islam asalnya menegaskan pada kode etik hubungan antara umat Islam dengan pemeluk agama lain. Penjabaran tentang memahami perbedaan suku, bangsa, ras, warna kulit dan keyakinan merupakan kode etik yang diajarkan dalam Islam. Hal ini juga yang mengungkapkan bahwa perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang dihindari dan tidak perlu dilenyapkan.
Prinsip Toleransi dalam Islam
Sebagai agama rahmatan Lil aalamin, Islam tidak hanya memberikan makna sebuah konsep ajaran dengan satu derivasi makna, namun berbagai bentuk derivasi. Hal itu dilakukan, sebagai penegasan bahwa Islam tidak hanya menjelaskan secara sempit terhadap sebuah makan hukum yang ada dalam masyarakat. Beberapa bentuk toleransi tersebut bermuara pada empat prinsip toleransi dalam Islam sebagaimana tersebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw, memiliki berbagai bentuk dan makna. Antara lain :
1. Prinsip keragaman, pluralitas (al-ta`addudiyah).
Keragaman sejatinya merupakan watak alam, dan bagian dari sunanatullah. Orang Muslim, kata Qardhawi, meyakini Keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman ciptaan-Nya (makhluk). Dalam keragaman itu, kita disuruh saling mengenal dan menghargai. (QS al-Hujurat [43]: 13).
2. Prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi` bi masyi’atillah).
Al-Qur'an sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena kehendak-Nya. Segala hal yang diciptakan dan ditakdirkan Allah terjadi pasti terdapat kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menghendaki maka semua penduduk bumi menjadi Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99).
3. Prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga.
Semua orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS. Pesan ini tampak dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam khutbah Nabi Saw yang termasuk juga sebagai deklarasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada'
4. Prinsip kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih).
Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30). Salah satu bentuk prinsip toleransi dalam hal ini adalah ketika Nabi Saw melakukan penghormatan kepada mayat seorang Yahudi. Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya.
Dengan memperhatikan paparan di atas, maka sangat tidak masuk akal jika terdapat pandangan masyarakat bahwa Islam merupakan agama yang intoleran terhadap perbedaan yang ada. Pun jika ada yang melakukan tindakan yang menjurus pada sikap intoleran, maka hal itu merupakan kesalahan individu yang salah dalam memahami ajaran Islam yang inklusif. Juga, munculnya pandangan pada masyarakat umum tentang Islam yang merupakan agama dengan ajaran yang keras dan identik dengan pembunuhan. Sekali lagi ditekankan bahwa, Islam merupakan agama yang selalu mengajarkan nilai-nilai toleransi dan kasih sayang terhadap sesama tanpa melihat jenis, nasab, suku, bangsa, dan juga agama dari manusianya. Selama masih menjadi makhluk Allah SWT, serta tidak memberikan gangguan dan memusuhi umat Islam, semuanya pantas untuk dijadikan saudara dan mendapatkan perlakuan yang terhormat sebagai sesama manusia dan makhluk ciptaan Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar