PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!
Kata “professor” dulu terdengar sakral. Dulu. Ya, dulu. Zaman ketika gelar itu bukan sekadar simbol kehormatan, tapi cerminan dari jerih payah intelektual panjang, riset yang melintasi malam, buku-buku yang ditulis dengan darah pemikiran, dan ruang kelas yang dipenuhi semangat mendidik generasi. Namun hari ini, gelar "professor" perlahan mulai terdengar seperti stiker verifikasi biru di media sosial—lebih simbol ketenaran daripada kedalaman.
Refleksi ini tidak datang dari rasa iri, tapi dari kekhawatiran. Kekhawatiran bahwa tradisi intelektual kita sedang digerus oleh budaya pengakuan instan. Jika dulu orang menjadi professor karena reputasi akademik dan kontribusi ilmiahnya, kini ada kesan bahwa professor bisa diangkat asal "cukup terkenal", “cukup koneksi”, atau "cukup memenuhi syarat administratif", walau mungkin miskin karya monumental.
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memperlihatkan, dalam rentang 2020 hingga 2025, jumlah guru besar yang diangkat meningkat tajam. Dari sekitar 1.200 orang pada tahun 2020, naik menjadi lebih dari 3.500 orang pada 2024. Tentu, ini bisa dibaca sebagai kabar baik—tanda kemajuan. Tapi seperti kata bijak, “angka tak selalu bicara kebenaran.” Pertanyaannya: apakah kenaikan itu diiringi oleh kualitas intelektual yang sepadan?
Kita harus jujur, sebagian pengangkatan professor hari ini bukan karena buku yang mengguncang dunia ilmu, atau teori baru yang menggoyang status quo, tapi karena tuntutan administratif kampus untuk menaikkan akreditasi. Maka tak heran jika ada dosen yang lebih sibuk mengejar "point kum" ketimbang mengembangkan pikiran kritis mahasiswanya. Mereka jadi lebih rajin mengisi seminar daring—meski tak ada yang ingat isinya—daripada menulis jurnal yang berdampak.
Profesor Hariyono, seorang pakar pendidikan, pernah menyentil keras fenomena ini. Ia menyebut, “Gelar akademik kita saat ini cenderung menjadi alat legitimasi sosial, bukan lagi simbol kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.” Pedas? Mungkin. Tapi juga sangat relevan. Banyak gelar professor hari ini disandang bukan oleh pemikir, melainkan oleh "pegawai akademik". Orang-orang yang cekatan menata portofolio, bukan menggugat pemikiran lama atau membangun paradigma baru.
Yang lebih menggelitik, publik pun kini tak peduli lagi siapa professor dengan riset brilian. Mereka lebih akrab dengan "professor" yang viral di TikTok karena statement kontroversial atau ikut main sinetron edukasi di YouTube. Di titik ini, kita sedang menyaksikan pergeseran makna professor: dari akademisi menjadi selebritas. Dari peneliti menjadi entertainer. Dari guru bangsa menjadi bintang tamu.
Tradisi akademik yang dulunya dijaga seperti pusaka, kini perlahan runtuh. Budaya diskusi ilmiah mulai tergantikan oleh talk show yang lebih sering memancing gelak tawa daripada pemikiran kritis. Buku ilmiah yang dulu menjadi ukuran otoritas ilmiah kini tergeser oleh konten viral. Seorang dosen muda pernah bergurau, “Kenapa harus menulis jurnal bereputasi tinggi kalau cukup jadi bintang podcast untuk dianggap ahli?”
Ya, satir ini bukan hanya keluhan. Ini adalah tanda tanya besar bagi kita semua: mau dibawa ke mana arah akademik Indonesia?
Dalam sistem pendidikan tinggi kita, syarat menjadi professor adalah memiliki karya ilmiah bereputasi internasional. Tapi realitasnya, terkadang hanya publikasi yang penting—bukan substansi. Akibatnya, kita mendapati profesor yang artikelnya ada di jurnal internasional, tapi mahasiswanya tidak mengerti apa manfaat dari riset itu. Tragis, bukan?
Kita tidak sedang mencaci gelar professor. Tidak. Justru kita sedang merindukan makna terdalam dari gelar itu. Kita ingin kembali ke zaman ketika menjadi professor berarti menjadi penjaga ilmu, penggugah kesadaran, dan pembimbing generasi. Bukan hanya penjaga portofolio.
Ada harapan, tentu. Beberapa kampus mulai menghidupkan kembali forum ilmiah mingguan, memperketat proses pengangkatan professor, dan mendorong dosen untuk aktif dalam publikasi berbasis solusi sosial. Tapi langkah ini baru secuil. Kita butuh lebih dari sekadar peraturan. Kita butuh kultur.
Akhir kata, mungkin sudah waktunya kita bertanya: apakah “professor” hari ini masih merupakan gelar akademik tertinggi, ataukah sekadar jabatan prestise yang bisa diperoleh lewat popularitas? Kalau yang kedua lebih dominan, jangan heran jika suatu saat, gelar “professor” lebih sering kita dengar di konten TikTok daripada di ruang kelas kampus.
Dan kalau itu terjadi, mari ucapkan selamat tinggal pada tradisi intelektual. Kita resmi masuk era akademik 5.0—di mana gelar bisa dicapai, bahkan sebelum pemikiran itu matang.
Pojok Sunyi Mataram, 20 April 2025
Al-Ghauts
Komentar
Posting Komentar