Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima
"Ina Ku Dana, Ama ku langi " — kalimat ini selalu terdengar agung di telinga orang Bima. “Ayahku langit, ibuku bumi.” Sebuah metafora yang indah, filosofis, bahkan terdengar sangat puitis. Kalimat ini seakan-akan mewakili keseimbangan kosmis, menyandingkan laki-laki dan perempuan dalam harmoni yang seimbang antara yang tinggi dan yang menghidupi. Tapi mari kita jujur sebentar saja: apakah kenyataan sosial di Bima memang selaras dengan filosofi ini?
Atau jangan-jangan, kita hanya sedang memuja filosofi ini layaknya puisi, tapi membiarkan ketidakadilan tumbuh di halaman rumah?
Dalam ruang budaya, kalimat itu dibanggakan sebagai bentuk penghormatan kepada kedua orang tua. Namun dalam praktik sosial, sering kali yang langit tetap dominan: tidak bisa dijangkau, selalu di atas, dan menjadi penentu arah. Sementara bumi — ibuku — tetap menjadi tempat berpijak, diinjak, dan dituntut untuk terus memberi, tanpa boleh bersuara lantang. Langit bicara, bumi mendengar. Langit memutuskan, bumi mengikuti.
Begitulah kira-kira narasi filosofis yang sering dijadikan selimut oleh masyarakat patriarkal: tampak lembut, tapi menyelimuti luka yang dalam.
Musdah Mulia, seorang tokoh feminis Islam yang konsisten mengangkat isu keadilan gender dalam agama, pernah mengatakan bahwa budaya kita sering menutupi bias patriarki dengan dalih kearifan lokal. Simbol-simbol filosofis yang seharusnya memuliakan perempuan malah digunakan untuk membungkam mereka. Perempuan dianggap mulia, suci, dan penuh kasih — tapi hanya selama mereka diam, melayani, dan tunduk.
Jadi, apakah Ina benar-benar "dana"? Atau ia hanya dipaksa menjadi tanah agar bisa diinjak oleh langit yang terlalu percaya diri?
Di Bima, seperti di banyak wilayah lainnya, perempuan masih harus berjalan di bawah bayang-bayang lelaki. Dalam banyak kasus sosial, kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar insiden, tapi pola. Laporan dari Komnas Perempuan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan NTB menyebutkan bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Bima mengalami peningkatan setiap tahun. Perempuan Bima yang bersuara dianggap “terlalu keras.” Perempuan yang mengejar pendidikan tinggi sering kali disindir “terlalu maju.” Dan jangan lupa, stereotip tentang "perempuan baik" selalu dikaitkan dengan kemampuan mereka menjaga kehormatan keluarga—bukan kemampuannya berpikir, memilih, atau menentukan hidupnya sendiri.
Bima modern masih hidup dalam bingkai Bima feodal. Warisan kolonial, adat, dan agama bercampur dalam satu paket sistem nilai yang menjadikan perempuan sebagai simbol moralitas kolektif. Di sinilah letak paradoksnya: perempuan dihormati dalam simbol, tapi dilupakan dalam sistem. Mereka dipuji sebagai ibu dari peradaban, tapi tak diberi ruang membangun peradaban itu sendiri.
Ratna Megawangi dalam "Membiarkan Berbeda" juga mengkritik sistem pendidikan dan sosial kita yang terlalu maskulin: menghargai kekuatan, logika, dan otoritas, tapi mengabaikan empati, kelembutan, dan relasi. Perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan ukuran laki-laki: kompetitif, rasional, tegas—padahal itu bukan satu-satunya jalan untuk menjadi manusia yang utuh. Tapi sayangnya, menjadi manusia yang utuh tidak cukup di dunia yang menilai nilai dari suara laki-laki.
Masyarakat kita belum memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Dalam forum adat, suara perempuan nyaris tidak terdengar. Dalam pengambilan keputusan keluarga, “Ama ku langi” berarti benar meski salah. Dalam struktur sosial, nama lelaki tetap diwariskan, sedangkan nama perempuan ikut hilang, larut dalam silsilah, seperti sungai yang mengalir tanpa hulu.
Sachiko Murata dalam The Tao of Islam menekankan bahwa prinsip feminin dan maskulin dalam Islam sebenarnya bersifat saling melengkapi, bukan saling mendominasi. Tapi tafsir kita lebih sering maskulin: syariat menjadi alat kontrol tubuh perempuan, bukan untuk membebaskan jiwa mereka. Di Bima pun, tafsir agama lebih banyak digunakan untuk mengatur panjang rok perempuan daripada mengatur panjang akal dan etika laki-laki.
Lalu kita bertanya, kenapa kekerasan masih terjadi? Kenapa perempuan masih jadi korban dalam ranah publik dan domestik?
Jawabannya sederhana dan menyakitkan: karena langit masih merasa dirinya pusat tata surya. Ia lupa bahwa tanpa bumi, langit hanyalah ruang kosong yang tak bisa dihuni.
Dalam sejarah dan legenda Bima, dikenal sosok perempuan tangguh bernama La Bibano, yang sering disebut dalam kisah rakyat sebagai perempuan bijak, pemberani, dan penuh kasih. Ia bukan ratu dalam pengertian politik, tetapi pemimpin moral dalam komunitasnya—perempuan yang mampu menengahi konflik, menjaga nilai-nilai adat, dan memberikan nasihat yang disegani baik oleh laki-laki maupun perempuan. Legenda tentang La Bibano kerap diceritakan turun-temurun di kampung-kampung, namun sayangnya tidak tercatat rapi dalam sejarah resmi Bima yang cenderung mengutamakan narasi tentang raja dan pahlawan laki-laki. Sosok seperti La Bibano menunjukkan bahwa perempuan pernah memegang peran penting dalam membentuk struktur sosial dan nilai budaya masyarakat Bima. Namun hari ini, nama-nama seperti dia perlahan menghilang di balik narasi sejarah yang maskulin, membuat kita lupa bahwa perempuan pun pernah menjadi pilar yang menegakkan peradaban ini sejak lama.
Jadi, tak mengherankan jika budaya Bima hari ini masih menempatkan perempuan dalam posisi "dana": tempat bertumbuhnya benih-benih kehidupan, ya, tapi sekaligus ladang yang tak pernah boleh menanamkan benih pemikiran sendiri.
Masih banyak perempuan Bima yang harus putus sekolah karena dinikahkan dini. Data Dinas Pendidikan NTB mencatat bahwa angka perkawinan anak di wilayah Bima termasuk yang tertinggi di provinsi ini. Perempuan yang bersuara dianggap “tidak tahu diri.” Dan bila menjadi korban kekerasan seksual, masyarakat lebih sibuk mempertanyakan bajunya daripada mempersoalkan pelakunya.
Lucu, ya? Dunia yang katanya modern, tapi pikirannya masih tersangkut di zaman batu. Bedanya, kini kita punya Instagram untuk mengunggah kutipan "Ama ku langi, Ina ku dana" dengan latar sunset, meskipun si pengunggahnya masih menyuruh adik perempuannya berhenti sekolah agar bisa bantu urus rumah.
Dalam forum adat, tidak jarang juga kita mendengar kalimat: “Perempuan tidak cocok memimpin.” Padahal, jika ditilik secara spiritual dan filosofis, perempuan justru punya kekuatan kepemimpinan yang transformatif—bukan memerintah dari atas, tapi merawat dari dalam. Dunia ini tidak kekurangan pemimpin laki-laki yang keras dan dingin, tapi sangat kekurangan pemimpin perempuan yang penuh kehangatan dan keberanian spiritual.
Maka pertanyaannya bukanlah “apakah perempuan bisa memimpin?” tetapi “kenapa kita masih takut dipimpin oleh kasih sayang?”
Kini, saatnya membaca ulang filosofi “Ama ku langi, Ina ku dana” bukan sebagai justifikasi hierarki, tapi sebagai simbol relasi kosmis yang saling menguatkan. Langit tidak akan berarti tanpa bumi. Dan bumi tidak hanya menopang, tapi juga membentuk, memberi arah, menumbuhkan, bahkan menghidupkan langit itu sendiri.
Relasi gender bukan soal siapa di atas siapa. Tapi siapa mampu berdampingan dengan adil. Jika langit terlalu tinggi dan sombong, ia akan menjadi badai. Tapi jika langit tahu berterima kasih kepada bumi, ia akan menjadi hujan yang menyejukkan.
Jangan-jangan, yang perlu diubah bukan filosofi Bima, tapi cara kita memahami dan menerapkannya. Jangan-jangan, yang perlu dilangitkan bukan hanya Ama, tapi juga Ina. Atau mungkin, sudah waktunya kita sadari: langit tak pernah memerintah bumi. Mereka hanya saling bicara dalam bahasa alam—tanpa dominasi, tanpa kekerasan, tanpa diskriminasi.
Jika masyarakat Bima benar-benar ingin kembali ke akar filosofinya, maka ia harus berani meruntuhkan tembok patriarki yang dibangun di atas filosofi yang menjadi puisi. Karena puisi sejati tidak membungkam satu suara untuk mengagungkan suara yang lain. Ia menyatukan, bukan memisahkan.
Dan mungkin saat itulah, kita bisa berkata dengan bangga dan jujur: Ina Ku Dana, Ama ku langi—bukan hanya kalimat yang indah di dinding rumah, tapi cermin dari dunia yang benar-benar adil untuk semua.
Mataram, 01 Mei 2025
Pojok Dilarang Menderita
Komentar
Posting Komentar