Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah
Di negeri agraris yang katanya subur makmur loh jinawi ini, ada satu sosok yang sering kali dipinggirkan dari narasi besar tentang ketahanan pangan: perempuan. Ya, perempuan—yang setiap hari berkutat dengan beras, sayur, minyak goreng, dan kadang-kadang utang warung. Sementara para pengambil kebijakan sibuk berdiskusi soal swasembada dan krisis pangan global, perempuan di desa dan kota memeras keringat agar dapur tetap ngebul, anak-anak bisa sarapan, dan suami bisa tetap punya energi untuk mencari nafkah (yang kadang malah nihil hasilnya).
Ironisnya, mereka yang menjadi tulang punggung dalam urusan pangan justru tak pernah masuk dalam sorotan utama. Perempuan, terutama yang menjadi buruh tani, buruh pabrik makanan, dan buruh rumah tangga, kerap dianggap pelengkap penderita dalam drama panjang ketahanan pangan nasional. Dalam dokumen resmi negara, mereka mungkin disebut "kontributor," tapi dalam praktiknya, mereka cuma jadi catatan kaki yang tak pernah dibaca.
Mari kita buka lembar sejarah sedikit. Pada masa kolonial Belanda, perempuan sudah terlibat dalam produksi pangan—baik di ladang-ladang tebu, sawah-sawah padi, hingga dapur-dapur perkebunan yang menyuplai kebutuhan para tuan tanah. Mereka memikul beban ganda sebagai penghasil dan pengelola pangan, sambil tetap menjadi ibu rumah tangga yang tak pernah digaji. Tapi siapa yang ingat kisah mereka? Kita lebih sering mendengar nama-nama besar laki-laki dalam sejarah perjuangan pangan.
Lalu datang masa Orde Baru, ketika pembangunan dirancang dari atas, dan sawah-sawah dijadikan simbol nasionalisme semu. Program seperti Bimas dan Inmas digelontorkan, tetapi tetap saja, perempuan petani hanya dijadikan objek pelatihan, bukan subjek kebijakan. Mereka diajari cara menanam dan memanen, tapi tidak diberi ruang untuk memutuskan arah pertanian keluarga mereka. Bahkan ketika harga pupuk naik dan benih mahal, merekalah yang pertama menyesuaikan pengeluaran rumah tangga agar bisa beli kebutuhan pertanian.
Fast forward ke zaman sekarang—di mana katanya semua sudah setara dan digital. Tapi tunggu dulu. Coba tengok buruh perempuan di sektor pangan. Mereka bangun jam empat pagi, masak, menyiapkan anak, lalu berangkat kerja ke pabrik makanan, penggilingan padi, atau ladang-ladang perkebunan sawit. Di sana, mereka digaji rendah, sering tanpa jaminan sosial, dan bahkan dalam banyak kasus, tidak diakui sebagai pekerja tetap.
Menurut data dari Serikat Petani Indonesia (SPI), lebih dari 50% pekerja di sektor pertanian adalah perempuan. Tapi hanya sekitar 10% dari mereka yang memiliki akses terhadap lahan. Selebihnya bekerja sebagai buruh harian lepas, dengan upah yang sering kali di bawah standar minimum. Belum lagi jika kita bicara tentang buruh tani migran perempuan yang bekerja di luar negeri, mengirimkan devisa sambil mengorbankan tubuh dan jiwa mereka demi sebungkus beras di kampung halaman.
Kita juga tak bisa melupakan fenomena urban farming atau pertanian kota yang kini marak digiatkan oleh komunitas perempuan di kota-kota besar. Dari halaman rumah, atap gedung, hingga lahan tidur milik negara, perempuan mengambil inisiatif untuk memproduksi pangan secara mandiri. Tapi, ironisnya, negara lebih sibuk memberi insentif ke korporasi besar lewat program food estate ketimbang mendukung gerakan akar rumput yang nyata-nyata menghasilkan.
Menurut Amartya Sen, kelaparan bukan soal kurangnya pangan, melainkan soal akses. Dan dalam konteks Indonesia, perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan akses terhadap pangan, baik sebagai produsen maupun konsumen. Mereka tidak memiliki lahan, tidak punya suara dalam kebijakan, dan tidak punya cukup kekuatan ekonomi untuk bersaing dalam sistem pangan yang semakin dikendalikan oleh pasar bebas dan korporasi.
Maka, ketika harga beras melonjak, minyak goreng menghilang dari pasaran, atau pupuk bersubsidi raib entah ke mana, perempuanlah yang pertama merasakan dampaknya. Mereka harus berpikir keras bagaimana caranya agar satu kilogram beras cukup untuk dua hari, atau bagaimana mengolah singkong dan daun kelor agar tetap bisa menyuplai gizi keluarga. Di balik menu sederhana itu, ada kecerdasan kuliner dan manajemen krisis yang bahkan tak diajarkan di bangku universitas.
Dan jangan salah, perempuan bukan hanya korban. Mereka juga pejuang. Lihat saja gerakan perempuan tani di berbagai daerah yang menolak perampasan lahan, menuntut reforma agraria, hingga melawan kekerasan struktural dalam sistem pangan. Di Kendeng, Jawa Tengah, para ibu-ibu menanam kaki mereka di semen sebagai bentuk protes terhadap pabrik semen yang mengancam sumber mata air mereka. Itu bukan sekadar aksi simbolik, itu adalah jeritan dari perut bumi yang sudah lama diabaikan.
Sayangnya, suara mereka sering kali diredam. Dibilang emosional, tidak rasional, atau bahkan dituduh ditunggangi kepentingan politik. Sementara itu, para elite dengan jas rapi sibuk merancang kebijakan pangan dari balik meja ber-AC, tanpa pernah mencicipi getirnya hidup sebagai buruh tani atau buruh pabrik makanan. Mereka tak pernah tahu betapa susahnya menanam sayur di lahan sempit, atau betapa getirnya harus memilih antara membeli telur atau membayar uang sekolah anak.
Dalam refleksi ini, kita tak sedang memuja perempuan semata. Kita sedang menunjukkan betapa timpangnya struktur pangan kita. Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi beras atau stok gudang Bulog. Ia adalah soal keadilan—siapa yang punya akses terhadap lahan, siapa yang mengendalikan distribusi, dan siapa yang menentukan harga. Dan dalam seluruh rantai ini, perempuan selalu berada di lapisan paling bawah.
Satire-nya begini: di negeri yang katanya kaya rempah dan sumber daya ini, perempuan harus berjuang seperti pahlawan super hanya untuk memastikan ada sepiring nasi di meja makan. Di televisi, kita disuguhi iklan tentang ibu bahagia memasak sarapan sehat, sementara kenyataannya, sang ibu harus ke pasar subuh demi mengejar harga yang belum naik. Kita diajak bangga dengan label “swasembada,” padahal banyak petani perempuan harus menyambung hidup dengan menjadi buruh migran di negeri orang.
Ketahanan pangan yang sejati bukan sekadar ketahanan fisik dalam bentuk tumpukan beras. Ia harus mencakup ketahanan sosial dan ekonomi yang menjamin perempuan sebagai aktor utama diakui, dihargai, dan dilindungi. Kita butuh kebijakan yang tidak hanya mengatur stok dan distribusi, tapi juga memberi ruang bagi perempuan untuk mengakses lahan, modal, pelatihan, dan pasar. Kita perlu membalik narasi, dari narasi korporasi ke narasi komunitas. Dari narasi teknokratis ke narasi keberdayaan.
Karena jika perempuan yang menjadi penggerak pangan tetap dibiarkan terpinggirkan, maka seluruh retorika tentang ketahanan pangan hanyalah ilusi belaka—seperti masakan tanpa garam: mengenyangkan mungkin, tapi hambar dan menyesakkan.
Dan jika suatu hari anak cucu kita bertanya, mengapa dulu Indonesia gagal menjaga ketahanan pangannya, semoga kita punya keberanian untuk menjawab: karena kita gagal mendengarkan suara perempuan yang setiap hari memasak sejarah di dapur dan menanam peradaban di ladang.
Komentar
Posting Komentar