Agama, 'Ulama', dan Predator Seksual
Serial TV Malaysia Bid'ah menghadirkan tokoh “Walid” yang mengguncang emosi penonton. Di luar, Walid adalah sosok ulama yang kharismatik, dihormati, dan dijadikan panutan dalam komunitasnya. Tapi di balik jubah dan sorban itu, tersembunyi watak predator—ia menggunakan posisi dan kuasanya untuk mengeksploitasi murid-muridnya secara seksual. Bukan hanya menjijikkan, cerita ini juga terasa menampar kita semua. Karena, sayangnya, kisah Walid bukan hanya fiksi. Di dunia nyata, “Walid” hidup, berkembang biak, dan seringkali dilindungi oleh sistem yang menolak membuka mata.
Fenomena kekerasan dan pelecehan seksual oleh tokoh agama bukanlah hal baru. Tapi yang membuatnya begitu menyakitkan adalah bagaimana agama—yang seharusnya menjadi pelindung—justru menjadi tameng para pelaku. Dari tahun 2020 hingga 2025, Komnas Perempuan mencatat peningkatan jumlah laporan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan, termasuk pesantren. Pada 2022 saja, tercatat 16 kasus besar pelecehan seksual oleh tokoh agama yang menyasar puluhan santri, mayoritas di bawah umur. Dan itu hanya yang terungkap.
Di Nusa Tenggara Barat, wilayah yang dikenal religius, kasus semacam ini juga mencuat. Salah satunya adalah kasus pesantren di Lombok Tengah pada 2023, di mana seorang pimpinan pondok ditangkap karena mencabuli belasan santri. Ironisnya, sebelum ditangkap, sang pelaku sempat dielu-elukan sebagai “ustaz karismatik” yang aktif berdakwah. Masyarakat seolah lupa bahwa gelar keulamaan tidak membuat seseorang kebal dari penyakit moral.
Tokoh-tokoh agama seperti Walid sering berlindung di balik simbol suci. Mereka menggunakan label "ustaz", "kyai", "syaikh", atau "guru spiritual" sebagai alat legitimasi kekuasaan. Dalam banyak kasus, korban bahkan tidak berani melapor karena takut dianggap durhaka kepada "orang alim". Ketimpangan kuasa ini dimanfaatkan pelaku untuk mengontrol, mengancam, dan membungkam. Dalam psikologi kekerasan seksual, ini dikenal sebagai abuse of trust—pengkhianatan kepercayaan dalam relasi kuasa.
Refleksi ini mengingatkan kita pada pendapat Dr. Haidar Bagir, cendekiawan Muslim Indonesia, yang pernah menyatakan bahwa problem umat Islam saat ini bukan hanya soal kebodohan, tapi juga ketertipuan oleh simbol. "Orang dengan mudah percaya hanya karena seseorang berbicara agama dan memakai pakaian agama," ujarnya. Padahal, kata Nabi Muhammad SAW, “Kalian akan diuji dengan jabatan dan harta; dan sebaik-baik kalian adalah yang paling takut kepada Allah ketika memiliki kekuasaan.”
Tapi mari kita jujur—sebagian dari kita juga punya andil dalam melestarikan budaya tutup mata. Ketika kasus pelecehan oleh tokoh agama muncul, tak sedikit yang langsung membela pelaku dengan dalih “jangan mengganggu nama baik pesantren”, atau lebih parah lagi, “ini fitnah terhadap Islam”. Apakah agama sebegitu lemahnya hingga goyah hanya karena satu orang bejat dibongkar kejahatannya? Tidak. Justru dengan membungkam kebenaran, kita mencederai Islam yang sejatinya menjunjung tinggi keadilan dan keberpihakan terhadap korban.
Agama tak pernah salah. Tapi manusia yang mengaku mewakili agama bisa sangat keliru. Dalam dunia tafsir klasik, kita mengenal peringatan dari ulama besar seperti Imam Ghazali yang mengingatkan bahwa sebagian “ulama su’” (ulama jahat) bisa membawa umat ke neraka karena menyelewengkan agama untuk ambisi pribadi. Maka, tugas kita hari ini bukan hanya menjaga agama dari serangan luar, tapi juga dari para "penjaganya" yang rusak dari dalam.
Ada ironi yang sangat pahit di sini: santri yang datang mencari ilmu dan ridha Tuhan, justru menjadi korban syahwat orang yang seharusnya membimbing. Pesantren, yang semestinya menjadi rumah suci pendidikan dan pembentukan karakter, berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi sebagian korban. Ini bukan sekadar tragedi. Ini adalah pengkhianatan spiritual.
Solusinya tidak cukup hanya dengan memenjarakan pelaku. Kita perlu perubahan sistemik. Mulai dari regulasi yang ketat terhadap lembaga pendidikan berbasis agama, pembentukan tim pengawasan independen, hingga kurikulum yang mendorong kesadaran kritis di kalangan santri dan masyarakat. Keulamaan harus dikembalikan ke esensinya: keteladanan moral, bukan sekadar ritual simbolik.
Ulama bukan hanya yang hafal banyak kitab, tapi yang akhlaknya mencerminkan kasih sayang Tuhan. Kita butuh lebih banyak tokoh agama yang tidak hanya berceramah tentang surga, tapi juga berdiri membela korban. Yang tidak hanya menasihati, tapi juga melindungi. Yang tidak berlindung di balik “takdir”, tapi menegakkan keadilan.
Generasi muda hari ini semakin sadar. Mereka tidak mudah lagi percaya hanya karena seseorang mengutip ayat dan hadits. Mereka menuntut kejujuran, transparansi, dan akhlak. Ini adalah sinyal bahwa masa depan keagamaan harus dibangun di atas integritas, bukan pada kekaguman palsu terhadap figur “suci” yang tidak pernah boleh dikritik.
Walid dalam Bid’ah mungkin fiksi. Tapi dia hidup dalam kenyataan kita. Selama kita masih menolak membuka mata, selama korban masih dibungkam demi menjaga reputasi institusi, selama simbol lebih penting daripada nurani—maka “Walid” akan terus beranak-pinak. Dan agama akan terus menjadi panggung yang disalahgunakan oleh mereka yang tak layak memegang mikrofon suci.
Karena itu, saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya menjaga agama? Mereka yang bersuara membela korban, atau mereka yang sibuk membungkam kebenaran demi citra?
Komentar
Posting Komentar