Politik Demokratis di atas Meja Remi


Ada pelajaran politik penting yang tidak pernah diajarkan di ruang-ruang kelas PPKn, bahkan oleh dosen yang paling gemar mengutip konstitusi. Pelajaran itu justru saya temukan di atas meja bulat, di tengah aroma kopi dan suara renyah keripik, sambil menonton teman-teman bermain Remi—permainan kartu tua warisan nenek moyang penjajah Eropa yang, entah bagaimana, diam-diam mengajarkan lebih banyak tentang demokrasi dibandingkan ratusan halaman diktat kuliah.

Remi mengajarkan bahwa demokrasi bukan sinetron murahan: bukan tentang drama air mata palsu, bukan tentang saling jegal sesama rekan satu kubu. Demokrasi, sebagaimana diajarkan oleh meja Remi, adalah soal kejelasan aturan, kesantunan bertanding, ketepatan membaca situasi, dan keberanian menerima kekalahan dengan kepala tegak. Tidak ada skandal, tidak ada klarifikasi ala selebgram; kalau curang, diusir. Selesai. Tak perlu debat panjang di media sosial atau rapat paripurna dengan tepuk tangan palsu.

Dalam Remi, semua orang diberi kartu secara acak. Ada yang untung, ada yang buntung. Tapi semua tetap punya peluang menang. Tidak ada yang menggugat pembagian kartu, tidak ada yang mengadakan unjuk rasa di dapur karena merasa dizalimi dealer. Karena sejak awal, semua paham: kunci kemenangan bukan pada kartu bagus, melainkan pada kecerdasan membaca peluang dan kejelian mengelola apa yang ada di tangan. Betapa jauh prinsip ini dari dunia politik kita, di mana begitu orang mendapatkan "kartu bagus" berupa jabatan, mereka sering lupa bahwa permainan ini bukan soal mengumpulkan semua kekuasaan, melainkan menjaga agar permainan tetap adil untuk semua.

Realitas politik kita lebih mirip sirkus daripada meja Remi. Kalau di Remi pemain yang curang otomatis dipandang jijik, di politik kita malah diundang jadi bintang tamu. Dapat hadiah jabatan baru, dapat slot wawancara eksklusif, bahkan kadang jadi ikon nasional. Rasanya seperti menonton kecoa yang bukan hanya jatuh ke dalam kopi, tapi malah dinobatkan jadi maskot warung.

Demokrasi yang sehat, kata Robert A. Dahl, bukan sekadar soal memilih pemimpin, tapi soal menciptakan prosedur fair play yang memungkinkan partisipasi setara. Tapi dunia nyata, terutama di negara-negara berkembang seperti kita, justru mengkhianati prinsip itu sejak dini. Pendidikan, yang seharusnya jadi dealer kartu paling adil, malah sering menjadi dealer kartu bertanda khusus. Diskriminasi, politisasi kurikulum, ketimpangan akses: semua itu tercatat rapi dalam laporan UNICEF dan UNESCO. Bayangkan, lebih dari 80 konflik horizontal di Indonesia dalam satu tahun saja dipicu oleh ketidakadilan di sektor pendidikan. Pendidikan yang mestinya mempersiapkan generasi bermain adil, justru mengajari generasi bagaimana curang dengan gaya.

Kalau dari ladang busuk kita berharap panen padi harum, itu bukan optimisme. Itu delusi. Karena dari pendidikan politik yang salah arah, lahirlah generasi politisi yang tak tahu bedanya antara taktik dan tipu daya, antara strategi dan sabotase. Mereka mengira politik adalah perang segala cara, bukan seni memainkan kartu dengan elegan.

Prinsip sederhana yang diajarkan Remi—kejelasan aturan, penghormatan terhadap lawan, penerimaan hasil—adalah prinsip-prinsip yang diremehkan dalam politik kita. Yang terjadi malah politik adu palu: begitu kalah, bukan introspeksi, tapi ngamuk. Papan dibanting, meja dibalik, bahkan penonton pun ikut disalahkan. Lebih buruk lagi, budaya "muka tebal nasional" membuat skandal politik tidak lagi memalukan. Justru jadi peluang branding. Ketahuan salah, malah mengklaim diri sebagai korban konspirasi. Heroik, katanya, padahal seheroik kecoa yang menolak mati.

Francis Fukuyama mengingatkan bahwa trust—kepercayaan—adalah syarat utama stabilitas demokrasi. Tanpa trust, semua berubah menjadi noise. Demokrasi berubah menjadi medan paranoia, seperti meja Remi di mana semua pemain curiga satu sama lain sambil menyembunyikan kartu di celana. Suasana main yang sehat pun berubah menjadi duel licik tanpa aturan.

Dalam skala global, contoh kegagalan trust terlihat telanjang. Ketika Presiden Donald Trump menekan Presiden Ukraina dalam percakapan rahasia yang bocor ke publik, dunia menyaksikan betapa politik tanpa trust berubah menjadi politik pemaksaan. Ukraina, dengan "kartu" hampir kosong, dipaksa mengikuti permainan para raksasa. Dalam dunia seperti ini, kekuatan mengalahkan keadilan, dan demokrasi berubah menjadi sandiwara di mana skenario ditulis oleh yang paling berkuasa.

Kita seharusnya sadar bahwa demokrasi tidak bisa berjalan tanpa persetujuan bersama atas aturan main. Jika tidak, permainan berubah menjadi kompetisi brutal di mana kemenangan adalah satu-satunya nilai. Kecurangan dianggap kecerdikan, kekalahan dianggap aib. Dunia di mana semua orang berlomba menjadi pemenang tanpa peduli pada kehormatan, di mana meja Remi berubah menjadi ring tinju tanpa wasit.

Lembaga pendidikan kita, ironisnya, malah memperparah keadaan. Alih-alih mengajarkan keberanian berpikir, mereka menekankan kepatuhan membabi buta. Alih-alih mengajarkan nilai kalah dengan terhormat, mereka memupuk obsesi menang dengan segala cara. Debat pelajar berubah menjadi adu suara, bukan adu gagasan. Gaya lebih penting daripada isi. Tak heran jika politisi masa depan lebih pandai mengolah diksi ketimbang memperbaiki kondisi.

Bangsa ini terlalu lama memuja simbol ketimbang substansi. Di Remi, tidak peduli seberapa teatrikal cara membuang kartu, jika salah strategi, tetap kalah. Tapi di dunia politik kita, siapa paling keras teriak "rakyat!" atau "reformasi!" justru lebih cepat naik pangkat, meski isinya kosong melompong.

Tak heran Indeks Demokrasi Indonesia terus melorot. Laporan The Economist Intelligence Unit 2024 dengan dingin mengkategorikan kita sebagai "demokrasi cacat". Kita bebas bicara, bebas memilih, bebas berteriak, tapi kualitas keadilan, transparansi, dan kesetaraan tetap barang langka—seperti mencari kartu Joker di dek Remi yang sudah dimanipulasi.

Remi mengajarkan bahwa dalam permainan, hubungan antar pemain lebih penting dari satu ronde kemenangan. Bahwa kalah itu wajar, menang itu bonus, dan mempermainkan kepercayaan adalah dosa yang menghanguskan semua. Negara-negara dengan budaya bermain sehat, dari Skandinavia sampai Jepang, membuktikan bahwa demokrasi tumbuh subur di tanah di mana anak-anak diajarkan dari kecil: kalah itu bukan aib, curang itu aib.

Kalau saja kita mau belajar dari Remi, kita akan lebih memahami bahwa mengelola negara bukan soal meraup semua kekuasaan. Bukan soal memborong proyek, mengamankan jabatan. Tapi soal memainkan kartu hidup kita dengan hormat, cerdas, dan sportif. Soal memberi ruang kepada semua pemain untuk berpartisipasi, menghargai lawan, menerima hasil permainan, dan mengingat bahwa permainan ini jauh lebih besar dari satu kemenangan pribadi.

Kalau pendidikan kita berani menanamkan nilai-nilai itu, mungkin kita tak perlu lagi menyaksikan drama politik murahan yang lebih lebay dari sinetron azab. Cukup dengan satu meja Remi, secangkir kopi, dan secuil harga diri, kita bisa mulai membangun demokrasi yang lebih manusiawi.


Mataram, 26 April 2025
Ruang Sunyi di Larang Menderita.
Al-Ghauts

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima