Digitalisasi Buku dan Hilangnya Tradisi Literasi di Kalangan Muda
Di era yang serba digital ini, transformasi besar telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia literasi. Buku, yang dahulu menjadi simbol utama pengetahuan dan kebijaksanaan, kini telah beralih bentuk menjadi deretan file digital yang mudah diakses melalui gawai. Di satu sisi, digitalisasi buku membawa banyak kemudahan dan efisiensi. Namun di sisi lain, perubahan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan memudarnya tradisi literasi, terutama di kalangan muda modern. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pergeseran cara mengakses informasi, tetapi juga mencerminkan krisis dalam budaya membaca yang lebih mendalam dan reflektif.
Perkembangan teknologi telah membuka akses luas terhadap informasi. Hanya dengan satu klik, seseorang dapat membaca ribuan buku dalam bentuk e-book atau artikel daring. Namun kemudahan ini seringkali tidak diimbangi dengan kualitas waktu dan konsentrasi dalam membaca. Generasi muda cenderung terjebak dalam budaya membaca cepat (skim reading) yang dangkal dan instan, bukan membaca secara mendalam yang memerlukan waktu dan perenungan. Maryanne Wolf, seorang neurosaintis kognitif dari University of California, menyebut fenomena ini sebagai "reading brain at risk", di mana pola pikir cepat dan multitasking digital dapat merusak kemampuan membaca mendalam yang penting bagi pengembangan empati, kritis, dan imajinatif.
Data dari UNESCO dan laporan Perpusnas RI menunjukkan tren menurunnya minat baca di Indonesia, yang kini berada di peringkat bawah secara global. Indeks Aktivitas Literasi Membaca tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 13 dari 100 orang Indonesia yang memiliki kebiasaan membaca. Angka ini semakin mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan semakin meningkatnya konsumsi konten visual dan hiburan singkat di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Kalangan muda kini lebih familiar dengan "baca caption" daripada membaca paragraf panjang, apalagi buku.
Digitalisasi memang membuat bacaan lebih terjangkau dan inklusif. Banyak karya klasik dan kontemporer kini tersedia gratis atau murah secara daring. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: apakah aksesibilitas itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas literasi? Jawabannya tidak selalu. Ketika buku hanya menjadi file yang tersimpan di cloud, tanpa interaksi emosional dan keterlibatan fisik yang biasanya terjadi saat menyentuh, mencium aroma halaman, atau mencoret-coret catatan di pinggir buku, maka hubungan manusia dengan pengetahuan menjadi semakin impersonal. Buku digital telah mengubah cara kita berinteraksi dengan teks—dari sesuatu yang hening dan penuh kontemplasi menjadi aktivitas yang terputus-putus dan terganggu notifikasi.
Dalam konteks budaya, hilangnya tradisi literasi juga berarti hilangnya momen sosial dan spiritual yang menyertai aktivitas membaca. Dahulu, membaca buku adalah aktivitas kolektif di taman bacaan, diskusi buku di komunitas, atau rutinitas sebelum tidur. Kini, membaca menjadi aktivitas yang sunyi dan bahkan terabaikan karena bersaing dengan notifikasi pesan dan video singkat. Tradisi lisan dan cerita turun-temurun pun mulai tergerus karena kalah menarik dibandingkan konten viral. Padahal, menurut sastrawan Goenawan Mohamad, "literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tapi sebuah kebudayaan." Maka hilangnya budaya membaca berarti juga hilangnya refleksi, pemikiran panjang, dan kedalaman batin.
Namun tentu kita tak bisa memutar balik waktu dan menolak digitalisasi. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kita dapat menjembatani antara teknologi dan budaya literasi secara harmonis. Solusinya bukanlah nostalgia akan buku cetak semata, tetapi membangun ekosistem digital yang tetap menumbuhkan kedalaman berpikir. Inisiatif seperti klub buku daring, aplikasi pembaca yang mendorong pencatatan reflektif, hingga integrasi literasi digital dalam kurikulum sekolah adalah langkah-langkah yang layak diapresiasi dan diperluas. Teknologi bukan musuh literasi, jika digunakan secara kritis dan sadar.
Peran keluarga dan institusi pendidikan juga sangat krusial. Membiasakan anak-anak membaca sejak dini, bukan hanya untuk mengejar nilai, tetapi sebagai kebiasaan hidup yang menyenangkan, adalah fondasi penting. Orang tua dan guru perlu menjadi teladan dalam membaca, bukan hanya mendorong anak untuk membaca. Membaca bersama, berdiskusi isi buku, hingga mengajak anak menulis jurnal pribadi dapat menjadi strategi kecil namun berdampak besar dalam menumbuhkan cinta literasi yang tahan lama.
Akhirnya, refleksi terbesar bagi kita adalah: apakah kita masih menganggap membaca sebagai aktivitas bernilai, atau hanya sekadar rutinitas akademik dan tuntutan sosial? Apakah kita masih bersedia meluangkan waktu untuk tenggelam dalam halaman demi halaman, meski dunia di sekitar terus bergerak cepat? Digitalisasi buku adalah keniscayaan, tetapi menjaga tradisi literasi adalah pilihan kesadaran. Jika kita tidak ingin generasi muda tumbuh tanpa kedalaman berpikir, empati, dan imajinasi, maka membangun kembali budaya membaca—dalam bentuk apapun—harus menjadi gerakan bersama. Bukan demi masa lalu yang romantik, tapi demi masa depan yang lebih tercerahkan.
Mataram, 22 April 2024
Al-Ghauts
Komentar
Posting Komentar