Kedudukan Tafsir di Tengah Konflik Pemahaman Agama Era Digital
Di era digital ini, agama semakin ramai diperbincangkan, tapi ironisnya—makin sering pula disalahpahami. Dari layar gawai yang tak pernah tidur, ribuan tafsir agama berseliweran setiap hari. Ada yang mencerahkan, tapi tak sedikit yang malah membingungkan. Di tengah banjir informasi ini, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: masih adakah tempat bagi tafsir sebagai jalan memahami wahyu secara sehat?
Zaman memang berubah. Jika dulu orang mencari makna Al-Qur’an lewat duduk bersimpuh di majelis tafsir bersama ulama, kini cukup buka aplikasi, cari video, dan dengar potongan ayat plus penjelasan “versi siapa saja.” Tapi justru di situ masalah bermula. Tafsir tidak lagi diposisikan sebagai proses ilmiah yang membutuhkan perangkat keilmuan, melainkan sekadar opini yang bisa dibagikan siapa pun asal punya follower. Tafsir menjadi demokratis, tapi sekaligus terbanalisasi.
Prof. Quraish Shihab pernah berkata, “Tafsir bukan hasil dari pembacaan sembarangan. Ia adalah hasil perenungan mendalam, penguasaan bahasa, sejarah, dan konteks wahyu.” Tapi sekarang, tafsir seringkali hanya diambil dari satu ayat yang dipotong dari ayat sebelumnya, tanpa konteks, lalu disulap menjadi dalil untuk menyerang pihak lain, mengafirkan kelompok berbeda, atau bahkan melegitimasi kekerasan. Bukankah ini gejala runtuhnya otoritas tafsir yang sebenarnya?
Era digital memang memudahkan akses, tapi tak selalu memudahkan pemahaman. Banyak orang terjebak pada “ilusi tahu”—merasa paham karena telah menonton banyak video dakwah. Padahal, memahami agama tak sesederhana itu. Tafsir bukan cuma soal arti kata, tapi juga soal hikmah dan kebijaksanaan. Tanpa bimbingan otoritatif dan metodologi yang benar, tafsir bisa berubah menjadi alat legitimasi ego.
Kondisi ini diperparah dengan hadirnya kelompok-kelompok yang mengklaim “kembali ke Qur’an dan Sunnah” tapi menolak tafsir ulama. Mereka lupa, memahami Al-Qur’an tanpa tafsir ibarat menavigasi samudera tanpa kompas. Maka tidak heran jika banyak pemuda—terutama Gen Z—mudah terombang-ambing oleh “ustaz viral”, yang ucapannya lebih banyak mengundang amarah daripada makrifat. Tafsir pun ditinggalkan, digantikan ceramah instan yang kadang lebih mirip debat kusir dibanding kajian ilmu.
Dalam suasana seperti ini, tafsir harus dikembalikan ke pangkuannya yang agung. Ia bukan hanya alat akademik, tapi juga jembatan spiritual. Tafsir membawa Al-Qur’an ke bumi agar bisa dipahami manusia, dengan segala kompleksitas dan pergulatannya. Ia bukan teks kering yang dingin, tapi lentur dan hidup, menyesuaikan zaman tanpa kehilangan esensinya.
Namun, untuk membela kedudukan tafsir, kita juga perlu memperbaiki cara menyampaikannya. Para akademisi dan ulama perlu keluar dari menara gading dan masuk ke ruang-ruang digital. Tafsir tak boleh hanya berdiam di perpustakaan atau seminar ilmiah. Ia harus hadir di TikTok, Instagram, dan YouTube—tapi dengan tetap menjaga integritas keilmuan. Jika tidak, ruang itu akan diisi oleh mereka yang tak punya kompetensi, tapi pandai mengemas narasi.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, tafsir harus dikontekstualisasi tanpa kehilangan dasar normatifnya. Inilah tantangan tafsir hari ini: bagaimana tetap jujur pada teks, tapi juga peka pada konteks. Kita tak bisa lagi membaca ayat tentang hukuman atau jihad tanpa mengaitkannya dengan realitas sosial dan hukum internasional saat ini. Tafsir hari ini harus hadir sebagai solusi, bukan sumber konflik baru.
Kita sedang hidup dalam masyarakat yang cepat tersulut emosi, mudah mencap kafir, sesat, bahkan murtad, hanya karena perbedaan interpretasi. Maka tafsir yang matang, yang dihasilkan lewat proses akademik dan spiritual, adalah benteng terakhir dari fragmentasi umat. Bukan untuk menyeragamkan pemahaman, tapi untuk menghadirkan kedewasaan dalam perbedaan.
Tafsir bukan milik satu golongan. Ia adalah warisan umat. Dari Ibnu Katsir hingga al-Zamakhsyari, dari al-Tabari hingga Fazlur Rahman—semua menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an adalah dialog panjang antara wahyu dan realitas. Maka tafsir bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling bijak dalam menangkap makna ilahi.
Kita boleh hidup di era digital, tapi jangan sampai cara berpikir kita ikut terdigitalisasi—segala sesuatu serba instan, dangkal, dan penuh dikotomi hitam-putih. Tafsir justru mengajarkan bahwa Al-Qur’an itu kaya, luas, dan dalam. Ia mengajak manusia berpikir, bertanya, merenung, bukan hanya percaya mentah-mentah.
Di tengah konflik pemahaman agama yang mengeras di berbagai ruang digital hari ini, tafsir harus menjadi penuntun, bukan korban. Ia harus menjadi ruang dialog, bukan senjata debat. Ia harus menjadi cermin jiwa yang mengajak manusia menyelami kedalaman makna, bukan hanya melihat permukaan ayat.
Karena jika tafsir terus ditinggalkan, maka agama akan kehilangan arah. Dan ketika agama kehilangan arah, umat pun akan kehilangan cahaya.
Komentar
Posting Komentar