Pendidikan sebagai Basis Kesadaran Atau Basis Konflik?

Katanya, pendidikan itu kunci. Tapi sering kali kita lupa, kunci itu bisa membuka pintu... atau menguncinya rapat-rapat. Di negeri ini, di mana ijazah jadi jimat dan gelar lebih mulia dari perilaku, pendidikan menjelma jadi panggung dualisme: membebaskan sekaligus membelenggu.

Konon, Plato pernah berkata bahwa pendidikan adalah proses menyalakan api, bukan mengisi bejana. Tapi apa yang kita lihat hari ini? Api itu dipadamkan sejak dini, digantikan dengan lembaran soal, rangking kelas, dan cita-cita yang seragam: jadi ASN, kerja di bank, atau kalau bisa, viral dulu baru sukses. Pendidikan, yang seharusnya membangkitkan kesadaran, malah menanamkan ketakutan: takut gagal ujian, takut salah jurusan, takut tak lulus tepat waktu. Lucunya, tidak ada yang takut jadi manusia yang kehilangan nurani.

Cobalah tengok ke sekeliling. Di Papua, konflik tak jarang menyala karena ketimpangan akses pendidikan. Data dari UNICEF (2023) menyebutkan bahwa hanya 36% anak usia sekolah di Papua yang bisa mengenyam pendidikan menengah. Sisanya? Mungkin mereka sedang menyusun puisi protes diam-diam di balik reruntuhan sekolah yang terbengkalai. Lalu orang-orang kota, yang berpendidikan tinggi, akan berdiskusi soal “kesetaraan pendidikan” sambil menyeruput kopi latte di ruang ber-AC.

Pendidikan menjadi sumber kesadaran? Tentu. Tapi kesadaran yang mana? Apakah kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik atau kesadaran untuk menjadi elite yang tak tersentuh? Di beberapa universitas ternama, mahasiswa berdiskusi soal filsafat keadilan John Rawls, tapi begitu keluar kampus, tak ada empati untuk tukang parkir yang digusur atau pedagang kecil yang ditertibkan. Lulusan terbaik memburu karier, sementara masyarakat bawah memburu harapan yang tak pernah datang. Begitu mudahnya pendidikan menciptakan kasta-kasta baru dalam masyarakat.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyindir tajam pendidikan bergaya bank—di mana guru adalah deposan informasi dan murid adalah rekening pasif. Pendidikan semacam ini hanya menciptakan orang-orang yang pandai menghafal, tapi miskin menyimak realitas. Di sinilah konflik mulai membara: ketika mereka yang “berpendidikan” justru menjadi pelopor diskriminasi, sementara yang “tidak terdidik” hanya bisa menerima takdir sebagai objek pembangunan.

Mari kita tengok fenomena lain: radikalisme. Banyak penelitian menunjukkan bahwa salah satu pintu masuk radikalisme adalah sistem pendidikan yang gagal membangun nalar kritis. Data dari SETARA Institute (2022) menunjukkan peningkatan tren intoleransi di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa. Di balik seragam putih abu-abu itu, rupanya ada bom waktu ideologi yang sedang disimpan rapi oleh kurikulum yang terlalu takut menyentuh isu-isu sensitif. Pendidikan kita takut mengajarkan berpikir. Ia hanya mengajarkan mengerjakan soal.

Sementara itu, para pembuat kebijakan terus sibuk memoles kurikulum. Kurikulum Merdeka, katanya. Tapi seperti biasa, merdeka itu selalu untuk mereka yang sudah berkuasa. Bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil, kurikulum apapun tetap terasa seperti menari di tengah lumpur: cantik dalam teori, belepotan dalam praktik. Guru kekurangan pelatihan, murid kekurangan sinyal. Tapi tetap, kita adakan webinar nasional bertajuk “Transformasi Pendidikan Abad 21”.

Dalam dunia akademik pun, konflik diam-diam mengendap. Kampus—yang konon benteng terakhir kebebasan berpikir—mulai kehilangan nyali. Dosen takut menyuarakan kritik karena khawatir kontrak tak diperpanjang. Mahasiswa takut demo karena ancaman DO. Pendidikan menjadi arena yang steril dari perbedaan, padahal kesadaran sejati justru tumbuh dari benturan. Tapi siapa peduli? Asal akreditasi kampus tetap A, semua dianggap baik-baik saja.

Tentu, pendidikan juga punya wajah yang indah. Ia bisa melahirkan tokoh-tokoh yang memutar balik nasib dunia: dari Ki Hadjar Dewantara, Buya Hamka, hingga Munir. Tapi wajah indah itu kini seperti disimpan dalam pigura tua yang berdebu, sementara wajah pendidikan hari ini adalah kompetisi tanpa jeda: siapa paling cepat lulus, siapa paling banyak sertifikat, siapa paling viral dengan konten edukasi yang lebih mirip stand-up comedy.

Ada ironi yang begitu pahit ketika seorang anak di desa harus berjalan belasan kilometer demi sekolah, sementara anak kota menangis karena sinyal Zoom terputus saat kelas online. Pendidikan, dalam wajahnya yang paling getir, adalah pabrik pencetak kesenjangan. Makin tinggi gedung sekolah, makin jauh ia dari realitas masyarakat. Di beberapa kota, sekolah internasional berdiri megah dengan biaya ratusan juta per tahun, sementara di sisi lain, masih ada anak-anak yang belajar di bawah tenda karena bangunan sekolah rubuh diterjang banjir.

Sungguh, jika pendidikan adalah jalan menuju pencerahan, kenapa banyak orang terpelajar justru jadi pelaku korupsi? Lihat saja daftar nama-nama koruptor: hampir semuanya lulusan perguruan tinggi ternama. Apakah ini bukti bahwa gelar tak bisa menjamin moral? Atau jangan-jangan, moral itu tak pernah diajarkan, hanya dikhotbahkan?

Akhirnya, pendidikan memang medan ganda. Ia bisa menjadi basis kesadaran yang membebaskan atau basis konflik yang memperdalam jurang. Semua tergantung pada siapa yang memegang kendali. Selama pendidikan masih dikuasai oleh logika kapital, maka ia akan terus menjual mimpi demi keuntungan. Dan selama itu pula, anak-anak kita akan terus belajar untuk lulus, bukan untuk hidup.

Mungkin kita butuh semacam revolusi diam-diam—bukan dengan mengubah kurikulum tiap tiga tahun, tapi dengan mengubah cara pandang: bahwa pendidikan bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa jauh kita peduli. Bahwa sekolah bukan tempat mencetak robot penghafal, tapi tempat menumbuhkan manusia yang sadar akan tanggung jawabnya.

Seorang bijak pernah bilang, “Tujuan pendidikan adalah mengganti pikiran yang kosong dengan pikiran yang terbuka.” Tapi hari ini, banyak yang justru menggantinya dengan pikiran yang penuh... kepentingan.

Jadi, mari kita jujur: pendidikan di negeri ini sedang krisis, bukan karena kurang teori, tapi karena kehilangan nurani. Dan jika nurani tak lagi jadi kurikulum, maka konflik demi konflik akan terus muncul, dibungkus dengan nama-nama mulia: seleksi nasional, zonasi, digitalisasi, dan seterusnya.

Selamat datang di era di mana gelar lebih penting dari empati, di mana sekolah lebih sibuk mengejar prestasi ketimbang memahami kenyataan. Di mana kita belajar banyak hal, kecuali menjadi manusia.


Al-Ghauts
_Pojok Sunyi dan Secangkir Kopi Hitam_
Mataram, 25 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima