AISYAH BINTI ABU BAKAR R.A: ISTRI SANG PENCERAH YANG MEMBAKAR SPIRIT PERLAWANAN PEREMPUAN ATAS NAMA KEADILAN
Aisyah bukanlah perempuan yang hanya pandai meriwayatkan hadith; ia tahu kapan harus mengajarkan kesabaran dan kapan harus melawan kebengisan. Ketika Usman bin Affan dibunuh dan darahnya belum kering di Madinah, Aisyah bangkit. Ia tidak berdiri di balik tirai, tapi berada di atas pelana unta merahnya, memimpin barisan, menggugat kekuasaan yang diam atas darah khalifah ketiga.
Membaca Gerakan Aisyah: Bukan Soal Kekuasaan, Tapi Soal Keadilan
Sejarah menyimpan aroma kuat bahwa gerakan Aisyah bukan karena ambisi pribadi atau rasa iri pada Ali bin Abi Thalib—sebagaimana banyak dituduhkan dalam narasi-narasi patriarkal. Ia bergerak karena rasa keadilan yang terguncang. Ali yang menjadi khalifah setelah Usman, dinilai tidak segera mengadili para pelaku pembunuhan. Dan bagi Aisyah, keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan yang dilestarikan.
Apakah ini bentuk pemberontakan? Atau justru sebuah bentuk tanggung jawab moral?
Dalam perspektif teori etika kewargaan Martha Nussbaum, keberanian Aisyah dapat dibaca sebagai tindakan dari “warga negara etis” yang melampaui kepentingan privat. Aisyah, dengan segala risiko, memilih bersuara. Karena diam adalah pengkhianatan terhadap prinsip yang diperjuangkan Nabi: al-‘adl (keadilan).
Dari Padang Jamal ke Jalanan Jakarta: Refleksi Gerakan Perempuan Melawan Kekuasaan
Padang Jamal menjadi catatan sejarah yang pahit. Di sanalah Aisyah memimpin pasukan dalam apa yang kelak dikenal sebagai Perang Jamal. Ironis memang: perempuan yang dianggap sumber fitnah justru memimpin perlawanan terhadap kebisuan kekuasaan. Dan sejarah, seperti biasa, ditulis oleh mereka yang menang—dalam hal ini, para pengagum stabilitas yang melihat perlawanan sebagai kegaduhan.
Namun, lihatlah jejaknya dalam potret gerakan perempuan hari ini. Ketika para aktivis perempuan turun ke jalan menuntut keadilan bagi korban kekerasan seksual, ketika suara perempuan bergema menantang sistem patriarkal yang menindas tubuh dan suara mereka, bukankah itu gema dari langkah Aisyah?
Kita bisa membaca gerakan Aisyah sebagai bentuk awal dari proto-feminisme Islam. Ia mendobrak narasi dominan bahwa politik hanyalah urusan laki-laki. Ia menunjukkan bahwa suara perempuan bisa menjadi mesin kritik terhadap kekuasaan, bahkan jika kekuasaan itu datang dari sahabat Rasul sendiri.
Membongkar Ulang Narasi Tunggal
Karen Armstrong dalam Muhammad: A Prophet for Our Time menyinggung bagaimana perempuan pada masa Nabi memiliki ruang gerak sosial-politik yang luas. Aisyah adalah representasi tertinggi dari itu. Sementara Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite secara gamblang menyatakan bahwa Aisyah adalah “perempuan yang membongkar dominasi tafsir patriarkal atas sejarah Islam.”
Sikap politik Aisyah menantang dua arus besar dalam sejarah Islam: mereka yang memutlakkan ketaatan pada pemimpin, dan mereka yang menganggap perempuan tak layak bersuara dalam urusan publik. Aisyah bukan hanya bersuara, tapi juga mengguncang dunia Islam—dan menciptakan diskursus baru tentang siapa yang berhak menuntut keadilan.
Kalau Aisyah Hidup Hari Ini…
Bayangkan jika Aisyah hadir hari ini. Mungkin ia akan dijuluki ‘feminis liberal’, atau ‘perempuan yang kurang ngaji’, atau bahkan ‘pemberontak kafir’. Sebab begitu mudahnya label dilontarkan pada perempuan yang tidak takut bersuara.
Ia mungkin akan menjadi headline:
“Istri Nabi Memimpin Demonstrasi Melawan Penguasa Muslim”
Atau akan diserang oleh pasukan medsos:
"Perempuan seharusnya di rumah saja, Aisyah melampaui batas!”
Tapi ia juga akan menjadi inspirasi bagi mereka yang berdiri membela korban kekerasan seksual, mereka yang membongkar korupsi negara, mereka yang mendobrak politik oligarki. Sebab Aisyah telah meletakkan fondasi: bahwa keadilan tidak mengenal jenis kelamin.
Aisyah tidak memakai istilah “feminis”—tapi spiritnya mengilhami feminis Muslim seperti Amina Wadud, Ziba Mir-Hosseini, hingga Haifaa Jawad yang mengembangkan diskursus Islam progresif. Gerakan feminis Muslim hari ini berusaha menyandingkan nilai-nilai kesetaraan dengan ajaran Islam yang murni—dan di sinilah Aisyah menjadi ikon, bukan ancaman.
Ia adalah simbol bahwa perempuan bisa berpikir teologis, berpolitik, dan bersuara tanpa perlu melepas iman. Justru karena imannya, ia bergerak. Gerakan perempuan masa kini, dari RUU PKS hingga advokasi terhadap buruh migran perempuan, adalah gema dari suara unta merah Aisyah yang mengangkasa di Padang Jamal.
Aisyah, Inspirasi Abadi dari Perempuan yang Menolak Diam
Mereka yang alergi dengan perlawanan perempuan mungkin akan terus menjadikan Aisyah hanya sebagai istri Nabi, bukan sebagai penggugat kekuasaan. Tapi sejarah, betapapun ingin ditutup rapat, selalu menemukan celah untuk menyuarakan kebenaran.
Aisyah telah menunjukkan bahwa perempuan bisa mencintai, meriwayatkan, dan…melawan.
Jika hari ini kita masih bertanya-tanya, bolehkah perempuan menggugat kekuasaan? Maka jawaban itu telah ada sejak 1400 tahun lalu, dibisikkan dari bibir perempuan yang tidak tinggal diam ketika keadilan diinjak-injak.
Dan unta merah itu…
masih terus melaju—di jalanan, di ruang kuliah, di ruang sidang, di demo buruh, di suara-suara yang menolak tunduk atas nama iman yang diperbudak kekuasaan.
Mataram, 04 Mei 2025
Meja Kopi dan Sebungkus Rokok
Komentar
Posting Komentar