Dia Bernama Ayah (Ama)
Ayah itu seperti gunung. Kuat, kokoh, dan tak tergoyahkan. Ia tidak bercerita tentang betapa lelahnya ia, tapi kita tahu dari kerut wajahnya bahwa ada banyak malam yang tak ia nikmati, banyak siang yang ia tukar dengan peluh. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anaknya. Ia percaya, tugasnya bukan membuat dunia mudah untuk dirinya, tapi menciptakan jalan agar dunia jadi lebih baik untuk anak-anaknya.
Aku masih ingat, waktu kecil, aku seringkali tidak mengerti mengapa ayah selalu pulang larut malam. Kadang saat aku sudah tidur, kadang ketika aku sudah bosan menunggunya di teras. Tapi seiring dewasa, aku mulai paham. Pulang larut bukan karena ia tidak ingin bersama keluarga, tapi karena waktu siang tidak cukup untuk menukar masa depan anak-anaknya dengan sedikit tambahan penghasilan. Dan pagi harinya, ia kembali bangun paling awal, menyiapkan segalanya. Seolah lelah tidak pernah menghampiri tubuhnya. “Al-rajulu laa yabkii, wa laakinahu yuqaatil,” kata seorang ulama: laki-laki itu tidak menangis, tapi ia terus berjuang.
Pernah suatu ketika, kondisi ekonomi sedang tidak baik. Pertanian tidak menunjukkan hasil yang baik. Banyak yang menyarankan untuk menyerah, pindah haluan dengan cari kerja keluar kota atau bahkan pasrah. Tapi tidak dengan ayah. Dia tidak memilih jalan mudah. Dia bertahan. Dia bangkit. Karena dalam kamusnya, menyerah bukan pilihan. Katanya, “Laki-laki itu tidak bercerita, tapi laki-laki tidak berhenti berjuang.” Dan benar saja, dari kegigihannya itu, roda ekonomi keluarga pelan-pelan kembali berputar. Bukan karena keajaiban, tapi karena ada prinsip dan doa yang tidak pernah padam.
Di mataku, ayah adalah definisi sejati dari keberanian. Ia tidak menunjukkan emosinya dengan air mata, tapi dengan keputusan-keputusan besar yang ia ambil sendirian. Ia tidak pernah mengeluh, tidak juga menyalahkan keadaan. “Barangsiapa yang bersabar atas kesempitan, maka Allah akan lapangkan dadanya dengan kelapangan yang tidak pernah ia sangka,” begitulah kata Imam Asy-Syafi’i. Dan ayah, adalah orang yang hidup dalam sabar yang semacam itu.
Ayah mungkin bukan orang yang romantis. Ia tidak menuliskan puisi untuk anak-anaknya, tidak pula mengunggah foto keluarga di media sosial. Tapi dari caranya membetulkan atap rumah saat hujan deras, dari caranya diam-diam menaruh uang jajan di saku seragam kita, dari caranya mengantar sampai depan gerbang sekolah meski motornya butut—kita tahu bahwa cinta ayah tak pernah setengah-setengah.
Kini, ketika aku berada di posisi yang sama—menjadi kepala keluarga, aku baru benar-benar memahami beban dan tanggung jawab yang dulu ia pikul. Aku pun mulai menyadari, mengapa ayah jarang berbicara. Mungkin karena saat kau menjadi seorang ayah, kamu tidak lagi punya banyak waktu untuk mengeluh. Kamu hanya tahu bahwa setiap hari adalah perjuangan. Bahwa setiap detik adalah ladang pengorbanan.
Dan entah bagaimana, kekuatan itu muncul dari cinta. Cinta yang tidak butuh pengakuan, cinta yang tidak perlu ucapan. “Man sabara zhafira”—siapa yang bersabar, dia akan menang. Itu adalah moto yang mungkin ayah pegang erat, meski tak pernah ia ucapkan.
Aku juga ingat saat pertama kali ingin menyerah dengan kuliahku. Tugas menumpuk, ekonomi pas-pasan, dan rasa minder yang melanda. Tapi malam itu, tanpa banyak bicara, ayah hanya duduk di sampingku dan berkata pelan, “Ama tidak bisa bantu banyak, tapi Ama yakin kamu bisa. Lanjutkan, jangan berhenti hanya karena lelah.” Itu kalimat pendek yang jadi bahan bakar paling kuat dalam hidupku hingga hari ini.
Ayah, dalam diamnya, sebenarnya telah mengajarkan banyak hal. Tentang keteguhan, tentang arti menjadi lelaki sejati. Bahwa laki-laki bukan tentang kerasnya suara atau kerasnya genggaman. Tapi tentang kerasnya prinsip dan lembutnya tanggung jawab. Tentang komitmen untuk tetap berdiri, bahkan saat dunia memaksamu untuk duduk diam.
“Irfa’ nafsaka ‘an kulli syai’in laa ya’niik”—angkat dirimu dari hal-hal yang tak bermanfaat. Ayah adalah sosok yang tidak pernah terlibat dalam keluhan, dalam drama, dalam hal yang tak produktif. Fokusnya hanya satu: memastikan anak-anaknya tidak menjalani kehidupan yang lebih sulit dari yang ia alami.
Kini, ketika tubuhnya mulai renta, suaranya mulai gemetar, dan langkahnya mulai lambat, dan tanda-tanda kasih sayang Tuhan sedikit demi sedikit tampak pada laku-nya, aku tahu, saatnya aku yang menggantikan pijakan itu. Tapi satu hal yang tidak akan pernah aku gantikan: semangat pantang menyerahnya. Semangat yang ia wariskan tanpa perlu surat wasiat. Semangat yang ia tanamkan bukan lewat kata-kata, tapi lewat hidup yang ia jalani sepenuh hati.
Dia mungkin takkan pernah tahu betapa besar pengaruhnya dalam hidupku. Tapi jika hari ini aku bisa menjadi versi terbaik dari diriku, itu karena dulu ada seorang lelaki bernama ayah yang memilih untuk tidak berhenti berjuang, walau tubuhnya ingin menyerah.
Terima kasih, Ayah. Karena telah menjadi pahlawan tanpa selempang. Karena telah memilih diam, agar aku bisa berbicara. Karena telah berdarah-darah dalam sunyi, agar aku bisa tertawa dalam terang. Engkau adalah bukti nyata bahwa cinta sejati tidak selalu berbentuk pelukan, tapi bisa hadir dalam bentuk kerja keras tanpa pamrih.
Dan untuk kita semua, yang masih punya ayah di rumah: peluk dia. Tatap matanya. Katakan terima kasih, meski ia mungkin hanya akan menjawab dengan senyum singkat dan kalimat, “Sudah, yang penting kamu bahagia.” Tapi yakinlah, itu cukup untuk menggetarkan langit, karena doa seorang ayah tidak pernah tertolak.
Mataram, 04 Mei 2025
Ruang Tamu yang lusuh
Komentar
Posting Komentar