Hari Pendidikan Nasional: Momentum Seremonial atau Momen Substansial?

Tanggal 2 Mei kembali datang, dan seperti biasa, kita diingatkan oleh serangkaian kegiatan yang tampak meriah: upacara bendera, parade siswa dengan pakaian adat, pidato menteri yang seolah lahir dari ruang pemikiran transendental, dan unggahan media sosial penuh haru biru dengan tagar #Hardiknas. Di balik semua euforia ini, mari kita jujur dan bertanya: benarkah kita sedang merayakan pendidikan, atau hanya memperingatinya seperti kita memperingati hari jadi sebuah toko kelontong?

Setiap tahun, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) datang dengan bungkusan seremonial yang rapi. Tapi seperti kado yang indah namun kosong di dalam, perayaannya kerap tidak lebih dari pertunjukan panggung: panggung media, panggung birokrasi, panggung kepalsuan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi produk rasionalitas tertinggi manusia dalam membangun peradaban, justru direduksi menjadi peristiwa simbolik tanpa evaluasi serius atas kondisi aktualnya. Seolah yang penting adalah terlihat peduli, bukan benar-benar peduli.

Lihatlah berita-berita media mainstream dan linimasa media sosial hari ini. Menteri Pendidikan mengunggah video pidato emosional, para pejabat daerah berseragam lengkap menyanyikan lagu wajib, murid-murid berjejer dengan sepatu putih yang dipaksa kinclong, dan para netizen berlomba-lomba menulis caption puitis. "Selamat Hari Pendidikan Nasional! Mari cerdaskan kehidupan bangsa!" Tapi tak sedikit dari mereka yang menulis itu masih nyaman dengan budaya menyontek, memperjualbelikan ijazah, bahkan membiarkan kekerasan dalam dunia pendidikan terjadi tanpa sanksi berarti.

Ironi macam apa ini?

Seorang siswa dari pedalaman Kalimantan tidak bisa mengakses internet stabil untuk pembelajaran daring, sementara pejabat daerahnya sibuk menggelar seminar pendidikan di hotel berbintang. Mahasiswa di kota-kota besar mengeluhkan kurikulum yang kaku dan tidak relevan, namun diskusi tentang perubahan sistem pendidikan justru tenggelam oleh agenda politik praktis. Dan lucunya, semua itu lenyap ditelan gegap gempita perayaan tahunan yang lebih mengedepankan tampilan luar ketimbang isi.

Sebagaimana pernah disindir oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejatinya bukan tentang transfer pengetahuan dari yang pintar ke yang dianggap bodoh, melainkan pembebasan kesadaran. Tapi di Indonesia, pendidikan justru sering kali menjadi alat dominasi: guru yang memaksakan tafsir tunggal, lembaga pendidikan yang terobsesi nilai tinggi ketimbang proses berpikir, dan kebijakan yang lebih mengejar pencitraan daripada pembentukan karakter kritis.

Untungnya, di balik hingar-bingar itu, masih ada yang benar-benar merenung. Mereka tidak tampil di televisi, tidak menulis status motivasi setiap 2 Mei, dan tidak hadir dalam jamuan makan malam kementerian. Tapi mereka hadir dalam ruang-ruang kecil yang serius: aktivis pendidikan di komunitas, guru-guru jujur yang mengajar dengan gaji minim, dosen yang tetap menulis meski dianggap terlalu idealis, serta para siswa yang diam-diam memberontak terhadap sistem yang membungkam kreativitas mereka.

"Selama pendidikan masih menjadi ajang komersialisasi, kita tidak sedang membangun peradaban, tapi menjual mimpi," ujar Dr. Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan, dalam sebuah diskusi publik. Pernyataannya mencubit kesadaran bahwa pendidikan kita saat ini sedang digerogoti oleh kapitalisme akademik. Sekolah-sekolah swasta dengan tarif langit-langit seolah menjadi tolok ukur kualitas, sementara sekolah negeri di pinggiran terus berjuang dengan dana BOS yang tidak pernah cukup.

Menurut laporan Bank Dunia (World Bank Education Report 2023), Indonesia masih tertinggal dalam kompetensi literasi dan numerasi, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Lebih dari 50% siswa usia sekolah dasar tidak mencapai standar minimum kemampuan membaca dan berhitung. Tapi ironisnya, kita selalu bangga dengan jumlah lulusan, bukan kualitasnya.

Yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana dunia pendidikan sering kali mengafirmasi kegelapan sebagai "kebudayaan". Kita merayakan seni dan tradisi lokal tanpa menumbuhkan kemampuan untuk bertanya: apakah seni itu mencerahkan atau justru membungkam? Apakah budaya itu mendidik atau sekadar menghibur?

Hari Pendidikan Nasional tidak bisa terus menjadi panggung penyanjungan tradisi jika tradisi itu justru memperkuat feodalisme dalam pendidikan. Betapa banyak guru yang tidak bisa membantah kepala sekolah karena struktur komando yang kaku. Betapa banyak siswa yang tidak bisa menyuarakan aspirasi karena dilarang membantah demi "kesopanan". Lalu di mana pendidikan sebagai ruang rasionalitas? Di mana dialog? Di mana logika?

Pendidikan harus menjadi produk rasionalitas, bukan sekadar reproduksi nilai-nilai usang. Ketika peradaban gelap dibungkus sebagai seni, maka pendidikan seharusnya menjadi lentera untuk menerangi gelapnya seni itu. Bukan membiarkannya terus menjadi topeng. Pendidikan yang sejati harus menyuarakan kebenaran, meski pahit. Bukan justru menari dalam ketidaktahuan yang dikemas estetik.

Tidak sedikit yang mulai menyerah pada kenyataan: pendidikan tinggi kita masih menjadi pabrik gelar, bukan laboratorium gagasan. Dari 4.000 lebih perguruan tinggi di Indonesia, hanya segelintir yang masuk peringkat global. Dan itu pun masih harus dikritisi apakah indikatornya relevan dengan kebutuhan bangsa atau hanya sekadar mengejar ranking.

Penelitian menjadi formalitas, jurnal ditulis demi akreditasi, dan mahasiswa lebih sibuk mengejar sertifikat ketimbang wawasan. Di sekolah dasar, anak-anak dijejali pelajaran sejak pukul 7 pagi hingga 3 sore, tapi tak satu pun dari mereka paham mengapa mereka belajar. Orang tua menganggap pendidikan sukses jika anak masuk kampus ternama, tanpa peduli apakah anaknya bahagia atau justru depresi.

Fenomena burnout akademik kini menjadi masalah nyata. Survei Kementerian Kesehatan tahun 2022 menyatakan bahwa 23% pelajar usia 15-24 tahun mengalami gangguan kecemasan dan depresi, yang sebagian besar disebabkan oleh tekanan akademik. Tapi lagi-lagi, itu tenggelam di balik perayaan Hari Pendidikan yang gemerlap.

Jika Hari Pendidikan Nasional hanya untuk mengenang Ki Hadjar Dewantara, maka kita telah gagal memahami semangatnya. Ki Hadjar tidak sedang mengajarkan kita untuk sekadar upacara, tapi menanamkan semangat untuk "menghidupkan jiwa merdeka dalam berpikir". Bukan berpikir demi nilai, ijazah, atau pujian, tapi berpikir demi kehidupan itu sendiri.

Pendidikan harus menjadi revolusi rasionalitas. Ia harus melampaui seremoni dan menjadi jalan untuk membebaskan manusia dari kebodohan struktural. Ia harus mengajarkan keberanian berpikir kritis, bukan sekadar menghafal definisi. Ia harus menjadi senjata untuk menghadapi masa depan, bukan museum dari masa lalu.

Yang kita butuhkan bukan hanya guru, tapi pemikir. Bukan hanya kurikulum, tapi imajinasi. Bukan hanya gedung sekolah, tapi ruang dialog. Dan yang lebih penting, kita membutuhkan keberanian untuk membongkar sistem yang selama ini membungkam akal sehat.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak berhenti menjadi seremoni tahunan. Ia harus menjadi momen refleksi kolektif tentang ke mana arah pendidikan kita dibawa. Ia harus menjadi titik tolak untuk membangun pendidikan sebagai instrumen rasionalitas, bukan sebagai panggung hiburan.

Saat ini, masih ada guru yang mengajar dengan semangat meski gajinya pas-pasan. Masih ada siswa yang belajar dari buku lusuh karena tak mampu beli gawai. Masih ada relawan yang mendirikan taman baca di gang sempit. Merekalah yang seharusnya kita rayakan. Merekalah wajah pendidikan yang sebenarnya. Mereka bekerja dalam senyap, tidak meminta difoto, tapi merekalah yang sesungguhnya sedang menyelamatkan bangsa ini dari kegelapan.

Maka pada Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita jangan hanya memperingatinya. Mari kita memaknai dan menantangnya. Apakah kita akan terus hidup dalam euforia seremonial, ataukah kita siap menyambutnya sebagai momen substansial yang membuka jalan menuju peradaban yang tercerahkan?

Mataram, 02 Mei 2025

Pojok Sunyi dengan Secangkir Kopi
By. Diskusi With Najamuddin M. Lobang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima