Ketahanan Pangan dan Ketahanan Keluarga: Akar Sunyi di Balik Riuhnya Kriminalitas di Bima


Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bima dihebohkan dengan berbagai aksi liar yang mendadak menjadi pemandangan sehari-hari: pemanahan misterius di malam hari, tawuran antar kampung yang menyulut dendam berkepanjangan, pemblokiran jalan yang melumpuhkan aktivitas sosial-ekonomi, hingga pembabatan hutan secara liar demi membuka lahan pertanian darurat. Banyak yang menyalahkan anak muda sebagai biang keroknya. Tapi, benarkah persoalan ini hanya soal kenakalan remaja?

Jika kita tarik napas dalam dan menengok lebih jauh, akar dari kerusuhan dan kekerasan ini sesungguhnya tumbuh dari tanah yang retak—tanah yang kehilangan daya topang karena rapuhnya ketahanan pangan dan runtuhnya ketahanan keluarga. Dua pilar ini sejatinya merupakan fondasi utama dalam membentuk tatanan sosial yang damai dan seimbang. Ketika keduanya melemah, masyarakat, khususnya generasi muda, menjadi rentan terhadap pelampiasan destruktif sebagai ekspresi ketidakberdayaan.

Bima yang Lapar: Lahan Luas, Perut Kosong

Kabupaten Bima dikenal memiliki lahan pertanian yang luas. Namun ironisnya, masalah ketahanan pangan masih menghantui banyak keluarga. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, angka stunting di Bima masih cukup tinggi, dan ketergantungan pada komoditas pokok seperti jagung dan padi semakin menyempitkan pilihan masyarakat terhadap keberagaman pangan. Situasi ini semakin diperparah oleh minimnya irigasi, perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen, dan harga pupuk yang melonjak. Ketika panen gagal dan dapur tidak mengepul, tensi rumah tangga meningkat.

Dalam kondisi seperti ini, keluarga tidak hanya gagal memenuhi kebutuhan fisik, tapi juga kebutuhan emosional anak. Ketika meja makan kosong, begitu pula kehangatan dalam rumah. Anak muda kemudian mencari ruang pelampiasan di luar—dan sayangnya, seringkali ruang itu berupa kekerasan. Sebagaimana dikatakan oleh pakar sosiologi Emile Durkheim, ketika struktur sosial gagal mengakomodasi kebutuhan dasar warganya, anomie atau kekacauan sosial akan muncul sebagai akibatnya.

Rapuhnya Rumah: Ketahanan Keluarga yang Memburuk

Ketahanan keluarga sejatinya bukan sekadar tentang bertahan secara ekonomi. Ia mencakup kemampuan keluarga dalam menjaga komunikasi, memberikan kasih sayang, menetapkan nilai, dan menciptakan rasa aman bagi anggotanya. Namun dalam banyak rumah tangga di Bima hari ini, kita menyaksikan realitas yang pahit. Tingkat perceraian yang meningkat, ayah yang pergi merantau atau bekerja keras tanpa hadir secara emosional, serta ibu yang kewalahan memikul beban ganda menjadikan keluarga kehilangan fungsi pendidik pertamanya.

Anak-anak yang kehilangan arah kemudian membentuk kelompok kecil yang solid bukan karena nilai, tetapi karena rasa senasib dan pelarian. Inilah yang kemudian menjelma menjadi geng pemanah, pelaku tawuran, dan pelaku blokade jalan yang sesungguhnya sedang berteriak minta didengar.

Seorang tokoh masyarakat Bima menyampaikan dalam sebuah forum bahwa, “Anak-anak kita tidak jahat, mereka hanya lapar. Tidak hanya lapar nasi, tapi lapar didengar, diperhatikan, dan dipeluk.” Sayangnya, jeritan itu tak selalu sampai ke meja kebijakan.

Protes Sunyi Para Orang Tua dan Rusaknya Spiritualitas Budaya

Tidak sedikit dari para orang tua dan tokoh masyarakat tua di Bima yang mulai angkat bicara. Bagi mereka, fenomena kekerasan ini bukan hanya kegagalan ekonomi, tetapi kegagalan budaya. Di masa lalu, anak-anak Bima dibesarkan dengan falsafah luhur Ina Ku Dana Amaku Langi—ibu adalah tanahku, dan ayah adalah langitku. Nilai ini menanamkan kesadaran akan keterikatan spiritual pada alam dan keluarga sebagai kesatuan tak terpisahkan. Ketika anak durhaka pada orang tua, itu bukan hanya kesalahan moral, tetapi penghianatan terhadap tatanan kosmos.

Namun hari ini, nilai itu memudar. Budaya Mbojo yang dulu mengajarkan hormat, kebersamaan, dan rasa malu mulai tersisih oleh arus modernitas tanpa filter. Televisi, gawai, dan media sosial mengambil alih peran orang tua sebagai pendidik, namun tanpa nilai yang jelas. Spiritualitas yang dulu menjadi fondasi masyarakat kini terpinggirkan oleh pragmatisme. Anak muda tidak lagi merasa menjadi bagian dari tanah dan langit yang melahirkan mereka. Mereka tumbuh dalam ruang hampa makna, dan di sanalah kekerasan menjadi jalan tercepat untuk eksistensi.

Pembabatan Liar: Jeritan Petani atau Kesalahan Sistemik?

Satu lagi bentuk ekspresi frustrasi muncul dalam bentuk pembukaan lahan pertanian secara liar. Masyarakat, dalam usahanya untuk bertahan hidup, melakukan pembabatan hutan demi menanam jagung atau tanaman singkat lainnya. Pemerintah menyebutnya ilegal, namun bagi petani kecil, itu satu-satunya harapan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi peringatan keras bahwa akses terhadap lahan dan sistem pertanian yang adil masih jauh dari kata ideal. Ketika akses pada tanah sebagai sumber kehidupan semakin menyempit, konflik dan kriminalitas hanyalah akibat logis.

Dari Refleksi ke Solusi: Jalan Panjang tapi Bukan Mustahil

Tidak ada solusi instan untuk persoalan kompleks ini, namun bukan berarti kita tidak bisa memulainya dari sekarang. Pemerintah Kabupaten Bima perlu membangun kebijakan jangka panjang yang tidak hanya reaktif terhadap kriminalitas, tetapi proaktif membangun ketahanan sosial dari akarnya. Di tengah keputusasaan, muncul harapan dari gerakan akar rumput seperti Kelompok Weki Marimpa yang digagas oleh Empat Serangkai—sekelompok anak muda yang mengusung kajian politik lingkungan, konservasi budaya, dan ekonomi berkelanjutan. Gerakan ini hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap rusaknya tatanan sosial dan ekologis Bima. Mereka menyuarakan pentingnya menjaga alam sebagai bagian dari identitas budaya Mbojo serta mengembangkan ekonomi lokal yang berbasis komunitas dan kearifan lokal. Lewat edukasi publik, aksi konservasi, dan kampanye budaya, mereka menjadi motor perubahan yang relevan dan inspiratif—membuktikan bahwa anak muda bukan hanya pelaku kekerasan, tapi juga pionir harapan dan peradaban baru. Beberapa Solusi yang ditawarkan antara lain;

Pertama, revitalisasi pertanian berbasis komunitas menjadi hal yang mendesak. Pemerintah perlu menggandeng lembaga pendidikan, pesantren, dan organisasi pemuda untuk membangun sistem pertanian terpadu berbasis keluarga. Setiap desa bisa diarahkan untuk membentuk kelompok tani muda dengan pendampingan teknologi dan akses pasar yang jelas.

Kedua, penguatan peran keluarga sebagai benteng sosial pertama harus dilakukan melalui pelatihan parenting, konseling keluarga berbasis desa, serta penguatan lembaga adat sebagai tempat mediasi dan pendidikan nilai. Pemerintah bisa mendorong peran aktif tokoh agama dan tokoh adat untuk kembali menjadi pelita nilai spiritual budaya Mbojo dalam keluarga-keluarga muda.

Ketiga, rekontekstualisasi nilai budaya Mbojo seperti falsafah Ina Ku Dana Amaku Langi dalam kurikulum pendidikan lokal sangat penting. Anak-anak harus kembali dikenalkan bahwa mereka adalah bagian dari tanah dan langit, bukan musuhnya. Melalui kegiatan budaya di sekolah dan di komunitas, nilai ini dapat dihidupkan kembali secara kontekstual.

Keempat, pemberdayaan ekonomi berbasis anak muda perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah harus membuka ruang inkubasi usaha mikro dan kreatif di tiap kecamatan, di mana anak muda diajarkan wirausaha, teknologi pertanian, dan keterampilan digital yang relevan dengan potensi daerah.

Kelima, penguatan spiritualitas kolektif melalui kegiatan keagamaan, forum budaya, dan ritual adat yang disinergikan dengan pendidikan karakter di sekolah dapat menjadi pondasi sosial baru. Spiritualitas bukan hanya urusan ibadah, tapi jati diri yang menanamkan makna pada setiap tindakan sosial.

Bima bukan hanya tanah konflik. Ia adalah tanah nilai, tanah kasih sayang, dan tanah perjuangan. Anak-anak muda yang hari ini dianggap pelaku kekerasan, sejatinya adalah korban dari sistem yang gagal memeluk mereka. Dan saat orang tua, pemerintah, serta masyarakat mulai membuka mata bahwa ketahanan pangan dan ketahanan keluarga adalah akar dari semuanya, maka dari sanalah perubahan bisa dimulai.

Menata Bima bukan tentang menaklukkan anak muda yang marah, tetapi membangun rumah yang kembali mampu memeluk mereka dalam hangatnya kasih, makna, dan harapan.

Mataram, 10 Mei 2025
*Weki Marimpa*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima