Ki Hajar Dewantara: Guru Bangsa yang di-DO Universitas

Bayangkan, seorang mahasiswa di-DO dari universitas karena dianggap "mengganggu ketertiban". Bukan karena narkoba, bukan karena bolos, tapi karena menulis dan berbicara terlalu lantang menentang penjajahan. Dialah Ki Hajar Dewantara—seorang pemuda cerdas yang justru diusir dari ruang akademik karena pikirannya terlalu tajam untuk zaman itu. Ironisnya, kini ia dipuja-puja sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Foto beliau dipasang di ruang kelas, namanya dipakai untuk jalan, sekolah, bahkan kementerian. Tapi pertanyaannya: apakah semangat pendidikannya masih hidup, atau hanya jadi nama yang terjebak dalam bingkai?

Ki Hajar pernah menulis, "Jika aku menjadi orang Belanda, aku tidak akan merayakan kemerdekaan di negeri yang belum merdeka." Tulisan ini menyebabkan ia dibuang ke Belanda. Tapi dari sanalah lahir teori pendidikan yang mendobrak: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan.

Sekarang mari kita lihat ke ruang-ruang kelas kita. Coba intip kelas di pelosok Papua yang beratap langit, tanpa kursi, tanpa meja. Atau kelas di Jakarta yang penuh sesak, guru stres, siswa apatis, dan kurikulum gonta-ganti seperti ganti baju musiman. Apakah semangat "tut wuri handayani" masih relevan jika faktanya murid-murid justru didorong keluar sistem karena tidak sesuai dengan standar industri pendidikan?

Ya, pendidikan kita kini lebih mirip pabrik daripada rumah belajar. Anak-anak dijejali pelajaran tanpa jeda, dikejar nilai, ranking, akreditasi, dan Ujian Nasional (yang katanya sudah dihapus tapi diganti nama lain). Guru dipaksa menjadi tukang administrasi daripada pendidik. Orang tua stres, guru stres, murid apalagi. Kita hidup dalam sistem yang sibuk mengejar "output", tapi melupakan human being.

Padahal, Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Bukan sekadar mencetak robot pintar, tapi membentuk pribadi yang berbudaya. Pendidikan, katanya, adalah proses membimbing segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Tapi di zaman ini, kita justru mendidik anak-anak agar jadi "mesin" yang bisa bekerja di perusahaan. Pendidikan vokasi di-boost demi mencetak tenaga kerja siap pakai. Sains dan matematika didewakan, sementara seni dan budi pekerti dianggap pelengkap penderita. Anak-anak dipacu mengikuti olimpiade, bukan belajar memahami diri. Kita seolah lupa: pendidikan itu bukan lomba cepat-cepatan, tapi maraton kesadaran.

Lihat data dari BPS (2023): angka partisipasi sekolah menurun tajam di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Di sisi lain, angka putus sekolah di perkotaan meningkat, karena banyak siswa terpaksa bekerja demi keluarga. Dalam laporan World Bank (2022), disebutkan bahwa “learning poverty” di Indonesia mencapai 50%, artinya separuh anak kelas 5 SD tidak bisa membaca dan memahami teks sederhana. Apakah ini yang kita sebut "merdeka belajar"?

Ki Hajar Dewantara pasti menangis melihat ini semua. Merdeka belajar yang ia maksud bukan sekadar ganti nama kurikulum jadi Kurikulum Merdeka. Ia ingin kemerdekaan berpikir, merdeka dari ketakutan, merdeka untuk bertanya, bahkan merdeka untuk salah. Tapi kini, salah sedikit, guru bisa di-bully, murid bisa viral, sekolah bisa dibredel. Kita hidup di zaman di mana sensor sosial lebih kuat daripada logika kritis.

Kita juga terlalu sibuk memuja “ranking” dan “akreditasi”. Padahal, seperti kata Paulo Freire, pendidikan itu bukan mengisi gelas kosong, tapi menyalakan api. Tapi kini kita malah sibuk menghitung isi gelas: berapa nilai UN, berapa IPK, berapa skor PISA. Seolah pendidikan hanya tentang angka, bukan jiwa.

Lucunya, para pengambil kebijakan pendidikan sering kali bukan pendidik. Mereka lebih suka mengukur dari atas, pakai helikopter policy. Akhirnya muncul kebijakan konyol: guru wajib lapor kinerja harian, siswa harus ikut asesmen nasional, sekolah wajib lapor jam belajar sampai ke detik. Apa ini pendidikan atau pabrik?

Ki Hajar Dewantara dulu ditendang dari ruang kuliah karena berani berpikir merdeka. Kini, anak-anak kita justru ditendang dari sistem karena tidak sesuai algoritma ranking. Pendidikan kita lebih percaya pada Excel daripada ekspresi murid. Lebih takut pada nilai rapor daripada nilai kehidupan.

Padahal, Ki Hajar memimpikan taman siswa: ruang belajar yang seperti taman, penuh warna, bebas bertumbuh, dan saling menghargai. Tapi yang ada kini lebih mirip hutan beton: kaku, dingin, dan penuh ketakutan. Di Taman Siswa dulu, murid tidak hanya diajari ilmu, tapi juga budi. Guru tidak berdiri di podium tinggi, tapi duduk bersama, sejajar. Guru bukan raja, tapi pembimbing. Bukan pemaksa, tapi penyemai.

Pendidikan sejatinya adalah kerja budaya. Tapi kini pendidikan dijadikan proyek. Sekolah jadi ajang bisnis. Buku diganti tiap tahun, seminar pendidikan digelar di hotel mewah, proyek digitalisasi dikucurkan miliaran—tapi kualitas belajar jalan di tempat. Bahkan sekarang, ada sekolah yang bisa "beli akreditasi", bisa "sewa guru tamu" untuk numpang foto kegiatan, lalu diklaim jadi "unggulan".

Mari kita bicara soal guru. Profesi yang katanya "pahlawan tanpa tanda jasa", tapi di dunia nyata kadang diperlakukan seperti buruh. Guru honorer dibayar di bawah UMR, tanpa jaminan kerja, tanpa pelatihan rutin. Padahal merekalah yang menanggung beban masa depan bangsa. Menurut data Kemendikbudristek 2024, masih ada lebih dari 1 juta guru honorer yang belum diangkat jadi ASN. Apa ini bentuk penghargaan untuk pahlawan?

Sementara itu, di sekolah-sekolah elite, anak-anak pejabat dan konglomerat duduk nyaman, belajar coding sejak TK, bisa field trip ke luar negeri, dan punya psikolog sekolah pribadi. Sedangkan anak-anak di pinggiran, jangankan coding, listrik pun kadang tak ada. Pendidikan kita sudah terlalu timpang. Celakanya, kita semua sudah terbiasa. Seolah ada dua Indonesia: satu yang belajar dengan iPad, satu lagi dengan papan tulis bolong.

Jika Ki Hajar masih hidup, mungkin ia akan membuat tulisan satir: "Jika aku menjadi menteri pendidikan, aku akan turun ke kelas-kelas yang atapnya bocor, bukan hanya hadir di seminar internasional." Karena pendidikan itu bukan hanya tentang konferensi, tapi tentang kemanusiaan.

Ki Hajar percaya bahwa tiap anak adalah benih yang unik. Tugas guru adalah menyirami, bukan mencabut karena dianggap 'tidak layak'. Tapi kini, sistem kita justru mencabut anak-anak yang tidak sesuai standar: anak autis, anak dengan disabilitas, anak dari keluarga miskin. Mereka dianggap “beban”, padahal mereka juga manusia Indonesia yang punya hak belajar.

Saatnya kita bertanya: apakah kita masih mendidik seperti Ki Hajar, atau justru membunuh semangatnya pelan-pelan?

Pendidikan tidak butuh slogan baru, tapi jiwa lama yang diperbarui. Jiwa Ki Hajar yang percaya bahwa guru sejati bukan yang menguasai kurikulum, tapi yang menghidupkan semangat. Bahwa pendidikan bukan sekadar soal lulus dan nilai, tapi soal tumbuh dan bernilai.

Di akhir hayatnya, Ki Hajar Dewantara tidak meminta gelar, tidak minta dimakamkan di Taman Pahlawan. Ia hanya ingin dikenang sebagai guru. Tapi kini, marilah kita hargai bukan hanya nama dan fotonya, tapi warisannya yang paling penting: mimpi tentang pendidikan yang manusiawi, adil, merdeka, dan bermakna.

Dan jika suatu hari nanti sistem pendidikan kita bisa membuat anak-anak tersenyum saat belajar, guru merasa bahagia saat mengajar, dan orang tua tidak khawatir tentang masa depan anaknya, mungkin saat itu, Ki Hajar bisa benar-benar beristirahat dengan tenang.

Mataram, 04 Mei 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima