Kopi dan Spiritualitas: Memahami Hidup dari segelas Kopi
Orang-orang dulu mungkin berdzikir di atas sajadah, sekarang ada yang berdzikir di atas gelas kopi. Jangan salah, Tuhan tidak terlalu repot soal media. Asal niatnya lurus, jalan apapun bisa jadi ibadah. Dan kopi—entah kenapa—punya kemampuan untuk membawa kita pada percakapan-percakapan terdalam dengan diri sendiri. Bahkan kadang, dengan Tuhan.
Saya pernah duduk berjam-jam di sebuah warung kopi tua di sudut kampung. Tak ada wifi, tak ada colokan, hanya percakapan dan uap kopi. Di sana, saya menyaksikan bapak-bapak yang kalau shalat masih suka telat, tapi kalau ngopi selalu tepat. Tapi lucunya, dari obrolan mereka saya belajar banyak soal hidup, soal bagaimana bertahan, soal bersyukur. Mereka tidak pakai istilah “mindfulness” ala barat, tapi tahu betul bagaimana menikmati waktu saat ini, menyeruput kehidupan seteguk demi seteguk.
Kopi dan Kesadaran Diri
Ada yang bilang, kopi itu candu. Saya bilang, kopi itu perantara. Ia tidak memberi jawaban, tapi menunda pertanyaan-pertanyaan itu cukup lama agar kita bisa bernapas. Banyak orang mencari kesadaran lewat yoga, meditasi, atau naik gunung. Tapi buat saya, kadang kesadaran itu cukup ditemui saat sendirian dengan secangkir kopi hitam, sunyi, dan sedikit kesadaran bahwa kita ini fana.
Menurut Harvard School of Public Health, kafein dalam kopi terbukti meningkatkan fungsi otak, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan kewaspadaan. Tapi saya curiga, itu cuma efek samping. Efek utamanya: membawa kita pada ruang kontemplatif, di mana kita bisa menertawakan kegagalan hidup tanpa perlu menangis, bisa memaafkan orang yang menyakiti tanpa perlu jadi ustaz, dan bisa menyadari bahwa hidup ini tidak perlu terlalu serius, karena toh kita akan mati juga.
Kadang saya merasa, kopi itu seperti teman ngaji yang tidak menghakimi. Ia mendengar tanpa interupsi, mendampingi tanpa menggurui. Dan setiap seruputnya mengandung makna: jangan terlalu cepat, jangan terlalu panas, dan jangan terlalu manis—karena hidup yang terlalu manis hanya cocok untuk feed Instagram, bukan untuk kenyataan.
Spiritualitas dan Dopamin Murah Meriah
Di zaman serba cepat ini, kita lebih sering mencari dopamin dari notifikasi ponsel ketimbang dari ketenangan hati. Padahal, menurut penelitian dari Johns Hopkins University, mengkonsumsi kopi dapat merangsang pelepasan dopamin—hormon bahagia—tanpa perlu scrolling TikTok tiga jam tanpa sadar. Inilah spiritualitas modern yang sederhana tapi dalam: kita tidak lagi mencari Tuhan di langit ketujuh, tapi menemukannya dalam sisa ampas kopi yang tak dibuang, dalam kesederhanaan pagi yang tak diburu-buru.
Saya percaya, manusia butuh ritual. Dan bagi sebagian orang, ritual ngopi setiap pagi bukan cuma soal kafein, tapi soal menyusun kembali hidup yang semalam berantakan. Bahkan ada teman saya yang bilang, “Kopi pertama di pagi hari itu seperti wudhu buat jiwa.” Saya tertawa waktu itu, tapi sekarang saya pikir dia ada benarnya. Kita butuh sesuatu yang membersihkan, menyegarkan, dan menenangkan sebelum kita masuk ke riuhnya dunia.
Dan jangan salah, orang-orang saleh pun punya kisah kopinya sendiri. Konon, para sufi abad ke-15 di Yaman menggunakan kopi untuk menjaga kesadaran dan konsentrasi dalam beribadah malam. Mereka menyebut kopi sebagai “qahwah”—yang secara harfiah berarti “yang menenangkan”. Jadi, jangan heran kalau orang yang hatinya resah lebih memilih menyeruput kopi sambil merenung daripada membuka ceramah motivasi yang isinya template semua.
Seni Menikmati dan Melambat
Ngaji spiritual melalui kopi adalah tentang seni melambat. Tentang menolak logika dunia yang serba cepat dan instan. Kita hidup di era di mana semua harus segera: chat harus dibalas cepat, kerjaan harus beres sekarang, dan hidup harus sukses sebelum usia 30. Tapi kopi, seperti halnya kebijaksanaan, tak bisa dipaksa. Ia harus diseduh, dinanti, dan dinikmati.
Di situ letak spiritualitasnya: menunggu dengan sabar, menyeruput dengan sadar, dan menghabiskan tanpa tergesa. Kita diajarkan untuk hadir penuh, bukan hanya lewat tubuh, tapi juga lewat jiwa. Dan ketika kita hadir, kita sadar bahwa selama ini mungkin kita hanya hidup sebagai bayangan. Sibuk mengejar, tapi lupa merasa.
Para ahli psikologi menyebut ini sebagai mindful consumption. Sebuah praktik yang mempertemukan tubuh dan pikiran dalam satu titik kesadaran. Dan siapa sangka, kopi bisa jadi pintu masuknya. Jadi kalau kamu merasa jauh dari Tuhan, mungkin kamu cuma perlu duduk sejenak, ambil cangkir kopi, dan izinkan dirimu merasa. Karena merasa, dalam konteks spiritual, seringkali adalah bentuk doa paling jujur.
Ironi: Dilarang Ngopi Tapi Disuruh Fokus
Lucunya, di sebagian lingkungan pesantren atau kampus Islam, ngopi itu masih dianggap aktivitas malas. Padahal, mereka juga sering mengeluh mahasiswa atau santrinya ngantuk di kelas. Ini seperti menyuruh orang berenang tanpa air. Kita disuruh fokus, tapi ditolak saat mencoba meningkatkan fokus dengan kopi. Padahal kopi bukanlah musuh agama. Yang berbahaya itu bukan kopi, tapi orang yang terlalu manis bicara tapi pahit perilakunya.
Saya ingat betul, saat saya sedang dalam fase spiritual drop—bukan karena dosa, tapi karena patah hati—kopi jadi satu-satunya teman yang tidak bertanya kenapa. Ia hanya ada, setia. Dalam sunyi, ia seperti dzikir tanpa suara. Menuntun saya untuk tidak terburu-buru pulih, tidak tergesa kembali “normal.” Sebab, dalam kesedihan pun, kita butuh teman yang tidak terlalu cerewet memberi nasihat. Kita hanya butuh diseduhkan sesuatu yang hangat.
Kopi dan Ibadah: Memfokuskan Diri kepada yang Satu
Kafein dalam dosis yang tepat mampu meningkatkan fokus dan stamina, sebagaimana disampaikan oleh Mayo Clinic. Ini berarti, kopi bukan pengganggu ibadah, tapi pendukungnya. Coba saja salat malam tanpa kopi setelah sehari penuh aktivitas. Jangan-jangan malah mimpi di rakaat kedua.
Para ulama sufi pun banyak yang menggunakan kopi untuk mendukung mujahadah mereka. Mereka sadar, untuk hadir sepenuhnya di hadapan Tuhan, tubuh juga harus terjaga. Dan kopi, dengan karakternya yang membangkitkan, menjadi semacam muadzin kecil yang membangunkan kesadaran kita dari tidur dunia.
Kadang saya pikir, kalau malaikat pencatat amal itu suka ngopi, mungkin mereka juga senyum saat melihat kita merenung di balik cangkir. Karena dalam diam itu, mungkin ada taubat. Mungkin ada penyesalan. Mungkin ada niat baru untuk jadi manusia yang lebih baik—meski belum sanggup langsung hijrah, minimal sudah mikir.
Akhirnya: Jangan Hanya Ngopi, Tapi Ngaji Lewat Kopi
Kopi bukan sekadar minuman, tapi pengalaman spiritual. Ia tidak memberi solusi, tapi menawarkan ruang untuk berdamai. Ia tidak mengubah nasib, tapi menyiapkan kita untuk menghadapi nasib dengan tenang.
Jadi kalau kamu ngopi hanya untuk bergaya, kamu kehilangan sisi terdalamnya. Tapi jika kamu ngopi untuk memahami diri, menyapa sunyi, dan mendekat kepada Sang Pencipta, maka setiap teguknya adalah zikir. Setiap ampasnya adalah tafsir hidup yang belum selesai.
Dan kalau nanti ada yang mengajakmu ngaji di masjid, ajakan itu baik. Tapi kalau belum sanggup, ngaji dulu lewat kopi. Duduk diam, rasakan, dan tanyakan: sudahkah aku benar-benar hidup hari ini?
Mataram, 05 Mei 2025
Kopi Pahit dan Asap Rokok
Weki Marimpa
Komentar
Posting Komentar