Kopi, Rokok, dan Diskursus Keadilan Gender



Siang itu, di sebuah warung kopi sederhana, asap rokok menari-nari di udara seperti kabut tipis yang tak diundang. Lelaki-lelaki duduk melingkar, menyesap kopi hitam pekat, membahas harga cabai yang melonjak, politik yang memanas, dan—entah kenapa—feminis yang dianggap “kelewatan.” Seorang di antaranya berkata lantang, “Sekarang perempuan mau sama kayak laki-laki, nanti ujung-ujungnya perempuan minta jadi imam shalat!”

Semua tertawa. Rokok masih menyala. Kopi masih mengalir ke lambung. Tapi refleksi saya mulai mendidih.

Apa hubungan antara kopi, rokok, dan keadilan gender? Mungkin tidak banyak jika ditilik dari rasa atau zat kimia. Tapi jika kita geser lensa kita sedikit ke budaya, ke sejarah, dan ke konstruksi sosial, ketiganya bisa dijadikan metafora untuk memotret relasi kuasa, stereotip, dan bagaimana dunia ini masih saja tidak nyaman melihat perempuan berdiri tegak tanpa embel-embel pengabdian.

Mari kita mulai dari rokok. Di ruang-ruang publik, rokok di tangan laki-laki adalah simbol maskulinitas. Rokok membuat laki-laki “tampak tangguh,” kata iklan lawas. Tapi coba letakkan rokok itu di tangan perempuan, dan lihat bagaimana mata publik berubah jadi hakim. Tiba-tiba ia jadi perempuan "nakal," "tidak sopan," "tidak tahu tempat." Seolah-olah paru-paru perempuan tidak punya hak yang sama untuk merokok seperti laki-laki—walau keduanya sama-sama rusak oleh nikotin.

Begitu juga dengan kopi. Di warung kopi, laki-laki bisa duduk berjam-jam, mengobrol, membahas bola atau bisnis. Tapi ketika perempuan duduk sendiri dengan secangkir kopi di kafe, kita sering kali dengar komentar, “Lagi nunggu siapa?” atau, “Kok sendirian?” Dunia ini seakan tidak siap melihat perempuan menikmati kesendirian, membebaskan pikirannya, atau sekadar menikmati hidup tanpa harus dikaitkan dengan peran istri, ibu, atau pacar.

Keadilan gender masih jadi diskursus yang rumit dan penuh jerat di negeri ini. Ia kerap disalahpahami sebagai upaya menjungkirbalikkan peran laki-laki dan perempuan. Padahal, menurut Prof. Mansour Fakih, keadilan gender adalah kondisi di mana perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, keputusan, kesempatan, dan penghargaan. Bukan kesamaan peran, tapi kesamaan hak.

Tapi kenapa sulit sekali menerima kenyataan bahwa perempuan juga ingin merdeka? Karena sejarah panjang kita sudah memelihara satu narasi: perempuan itu pendamping. Titik. Lihat saja bagaimana sejak kecil, anak perempuan lebih sering diajarkan bermain boneka, memasak, dan bersikap lembut. Anak laki-laki? Main mobil-mobilan, olahraga, dan diajari untuk “jangan cengeng.”

Konstruksi sosial ini seperti cetakan beton. Ia tidak hanya membentuk perilaku, tapi juga pikiran. Akibatnya, ketika ada perempuan yang berani bicara keras, menuntut keadilan, atau bahkan mengkritik sistem patriarki, ia dianggap “tidak tahu diri.” Dan jika ia merokok sambil melontarkan kritik itu? Dunia bisa terbakar oleh kebencian yang dilapisi moralitas semu.

Zaman kolonial pun tidak luput dari penciptaan narasi gender ini. Pemerintah kolonial Belanda pernah mempromosikan peran perempuan pribumi sebagai pengasuh, pemelihara rumah, dan pelengkap laki-laki. Melalui pendidikan formal ala Barat yang disesuaikan, perempuan diajarkan tata krama, bukan logika. Mereka diajarkan cara duduk, bukan cara berpikir. Kartini pun muak dengan ini. Dalam suratnya, ia menulis tentang betapa sesaknya kehidupan perempuan Jawa yang diatur dari lahir sampai mati. Dan ironisnya, setelah seratus tahun lebih, surat Kartini itu masih relevan.

Di tengah semua ini, diskursus keadilan gender seperti berada di meja warung kopi yang penuh abu rokok dan gelas kopi kosong. Ia ada di sana, tapi tak didengarkan. Kadang dijadikan lelucon. Kadang dianggap ancaman. Padahal, jika kita lihat data dari UN Women, negara dengan tingkat kesetaraan gender tinggi justru memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih baik, partisipasi ekonomi yang merata, dan tingkat kekerasan domestik yang lebih rendah.

Tapi tentu saja, argumen logis sering kalah dengan ego budaya. Kita lebih suka mempertahankan “nilai-nilai tradisi” walau kadang nilai itu sudah usang dan diskriminatif. Ketika perempuan minta hak setara di tempat kerja, selalu muncul suara: “Tapi nanti siapa yang ngurus rumah?” Seolah-olah pekerjaan domestik adalah takdir biologis, bukan hasil dari ketimpangan struktur sosial.

Diskursus ini sering kali terhenti di tembok yang bernama agama. Padahal, banyak ulama progresif seperti Amina Wadud atau Musdah Mulia yang sudah sejak lama menyuarakan tafsir keadilan gender dalam Islam. Mereka menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin, berkarier, atau bersuara. Yang melarang itu adalah tafsir patriarki yang dikukuhkan oleh budaya, bukan wahyu.

Di kampus, saya pernah mendengar seorang dosen berkata, “Perempuan itu memang tercipta dari tulang rusuk. Maka tugasnya adalah melengkapi laki-laki.” Saya ingin bertanya saat itu, “Kalau begitu, apakah laki-laki diciptakan dari batu, sehingga keras kepala dan sulit mendengar?” Tapi saya diam. Karena kadang, diam adalah satu-satunya cara menyelamatkan diri dari patriarki yang bercadar religius.

Saya tidak bermaksud menjadikan rokok dan kopi sebagai simbol pemberontakan. Tapi saya ingin menunjukkan betapa hal-hal sepele dalam budaya kita bisa menjadi alat ukur terhadap cara kita memandang gender. Jika kita masih marah melihat perempuan merokok, tapi diam saja ketika laki-laki melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka ada yang salah dalam sistem moral kita.

Keadilan gender bukan soal siapa yang lebih hebat. Ini tentang memberi ruang bagi semua manusia untuk tumbuh tanpa dikurung oleh stereotip. Ini tentang menghapus prasangka bahwa perempuan harus selalu “halus” dan laki-laki harus selalu “kuat.” Ini tentang menyadari bahwa dunia ini akan lebih adil jika kita berhenti menetapkan siapa yang pantas duduk di warung kopi dan siapa yang pantas hanya di dapur.

Saya membayangkan suatu hari, warung kopi tidak lagi jadi ruang eksklusif lelaki. Perempuan bisa duduk di sana, menyesap kopinya, merokok jika ia mau, dan berbicara tentang hak-haknya tanpa dihakimi. Diskursus tentang keadilan gender tidak lagi disisipkan di sela-sela lelucon, tapi menjadi perbincangan serius yang diseduh dengan empati dan kesadaran.

Dan jika saat itu tiba, mungkin saya akan duduk di pojok warung, memesan kopi hitam tanpa gula, menyalakan rokok Marlboro Filter kesukaan saya, dan menulis: dunia akhirnya paham bahwa keadilan bukan soal jenis kelamin, tapi soal kemanusiaan.

Mataram, 02 Mei 2025

Sebatang Rokok, Segelas Kopi Tubruk Nan Pahit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima