LGBT dan Hilangnya Citra Falsafah Maja Labo dahu di Dana Mbojo Ma Mbari


Tanah Mbojo. Tanah yang katanya berakar kuat pada falsafah luhur: Maja Labo Dahu—malu dan takut. Malu berbuat salah, takut kepada Tuhan. Sebuah filosofi yang bukan sekadar semboyan kosong tertulis di gapura kota, tapi dulunya adalah roh dalam tiap denyut kehidupan masyarakat Bima. Tapi kini, adakah kita masih mendengar denyut itu?

Di sebuah kafe pinggir kota, tampak dua remaja laki-laki berpelukan mesra. Tak jauh dari mereka, sekelompok pemuda dengan dandanan flamboyan tertawa lepas, mengabadikan momen mereka di TikTok, Facebook. Tak ada lagi rasa rikuh. Tak ada lagi wajah menunduk. Tak ada lagi maja, dan dahu pun tinggal kenangan. Wajah-wajah itu tak asing. Mereka bukan pendatang. Mereka anak-anak Mbojo. Mereka cucu dari mereka yang dulu tak berani bersuara keras pada malam hari karena takut mengganggu adab langit.

Dulu, jika seorang anak muda kedapatan memegang tangan lawan jenis tanpa akad, itu sudah cukup menjadi aib tiga generasi. Tapi kini, pelanggaran moral tak hanya dianggap biasa, malah dijadikan konten untuk menaikkan follower.

Fenomena LGBT di tanah Bima bukan sekadar realitas sosiologis, tapi tamparan filosofis. Sebuah pergeseran nilai yang sunyi namun mengakar, seperti air laut yang pelan-pelan mengikis karang tanpa suara. Menurut data dari Kemenkes RI, pada 2023 terdapat lebih dari 500 komunitas LGBT yang tersebar di berbagai provinsi, termasuk NTB. Di Bima sendiri, meski tak ada data pasti karena sifatnya yang sembunyi-sembunyi, namun media sosial menunjukkan wajah sebaliknya: akun-akun anonim berisi ekspresi cinta sesama jenis, grup-grup tertutup di Facebook dan WhatsApp, dan pertemuan komunitas yang mulai terorganisir. Dalam perkembangan ekspresi itu mulai di publikasikan secara terang-terangan oleh para pelaku.

Sebagian mungkin berkata: “Ah, itu hak asasi manusia. Mereka hanya ingin diakui.” Ya, kita memang hidup dalam era pengakuan. Era di mana eksistensi lebih penting daripada esensi. Tapi apakah semua yang bisa diakui harus dibenarkan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia bebas, tapi terhukum oleh kebebasannya.” Dalam konteks ini, kita bebas menerima atau menolak nilai luar, tapi setiap pilihan akan membawa konsekuensi sosial dan spiritual. Dan tanah Bima kini tengah membayar harga dari kebebasan yang tak disaring dengan kearifan lokal.

Lebih ironis lagi, para pembela kaum ini justru kerap berasal dari generasi yang bahkan tak hafal lagi arti Maja Labo Dahu. Mereka belajar toleransi dari drama Korea, belajar kebebasan dari vlog YouTube, tapi lupa belajar malu dari sejarah nenek moyang sendiri. Filosofi itu kini hanya jadi kalimat dalam buku pelajaran muatan lokal, yang dibaca sekadarnya sebelum dikembalikan ke rak dan dilupakan.

Dalam studi sosiologi moral, Emile Durkheim menyatakan bahwa moralitas adalah produk kolektif masyarakat. Jika suatu tindakan menyimpang makin banyak ditoleransi dan dipraktikkan, maka lambat laun ia akan menjadi moralitas baru. Inilah yang kini sedang terjadi. Dari yang semula dianggap tabu, menjadi “pilihan hidup”, lalu pelan-pelan naik kasta menjadi "kebenaran alternatif". Maka jangan heran jika kelak, barangkali, generasi Bima tak lagi paham mengapa dulu kita malu pada sesuatu yang kini dianggap ekspresi diri.

Apa yang salah? Teknologi? Tentu bukan. Teknologi hanyalah alat. Yang salah adalah kekosongan nilai yang menyambut teknologi itu. Dulu, ketika anak muda pulang dari rantau, orang tua akan bertanya: “Apa yang kamu bawa selain ijazah?” Maksudnya, bukan gelar yang utama, tapi nilai. Tapi kini, ijazah pun digantikan followers, dan nilai dikalahkan oleh gaya.

Kita tidak sedang membenci. Kita sedang merindukan. Merindukan masa di mana rawi pahu (_Meminjam istilah Dompu_) bukan hanya slogan, tapi identitas. Di mana masyarakat tak hanya takut kepada aparat, tapi pada suara batin yang berkata, “Tuhan melihatmu.”

Seorang tokoh adat pernah berkata dalam sebuah wawancara, “Dulu, anak muda Bima malu untuk berbicara tidak sopan di depan orang tua. Sekarang, ada yang malah menari-nari di depan masjid dengan pakaian perempuan, padahal dia laki-laki.” Apakah ini ekspresi? Atau ekspansi budaya yang merusak dari dalam?

Menurut teori cultural lag dari William F. Ogburn, perubahan teknologi dan sosial sering kali tidak diimbangi dengan perubahan nilai yang sepadan. Dalam konteks Bima, kita melihat kebudayaan luar masuk deras, tapi pagar nilai lokal roboh perlahan. Kita menerima media sosial, tetapi lupa memperkuat moral sosial.

Barangkali ini saatnya kita bertanya, bukan kepada kaum LGBT, tapi pada diri sendiri: di mana kita saat filosofi Maja Labo Dahu digerus habis oleh gelombang modernitas? Apakah kita masih menanamkan nilai itu pada anak-anak kita? Atau kita sibuk menjadi komentator dunia maya, lupa menjadi penjaga dunia nyata?

Pendidikan formal pun kadang terlalu kaku untuk menjawab isu ini. Kurikulum tak cukup gesit mengejar dinamika moral masyarakat. Dosen dan guru hanya bicara soal teori, tanpa menyentuh realitas batin anak didiknya. Padahal, perubahan perilaku bukan hanya soal pengetahuan, tapi teladan.

Apakah semua LGBT buruk? Tentu tidak. Kita tidak sedang memvonis manusia, tapi membedah fenomena. Dalam Islam, homoseksual adalah perbuatan yang dilarang. Tapi dalam pendekatan dakwah, pelaku tetap harus diperlakukan dengan adil, dibimbing, bukan dikutuk. Tapi membimbing bukan berarti melegitimasi.

Refleksi ini tidak menawarkan solusi instan. Ia hanya mengetuk pintu kesadaran. Jika filosofi Maja Labo Dahu adalah warisan, maka kita semua adalah ahli warisnya. Dan setiap ahli waris wajib menjaga, bukan menjual warisannya demi keuntungan sesaat.

Bima tidak anti-perubahan. Tapi Bima tidak boleh kehilangan jati dirinya. Kita boleh menerima dunia, tapi jangan sampai kehilangan rumah. Dunia boleh berubah, tapi ruh harus tetap utuh.

Pada akhirnya, semoga kita bisa kembali, bukan ke masa lalu, tapi ke nilai-nilai yang pernah membuat kita besar. Karena bangsa yang besar bukanlah yang menguasai dunia, tapi yang tidak lupa siapa dirinya.

Dan semoga satu hari nanti, saat seorang anak kecil bertanya, “Apa itu Maja Labo Dahu?”—kita tidak hanya menunjuk gapura kota, tapi menunjukkan diri kita sendiri.

Mataram, 05 Mei 2025

Refleksi Keresahan Di Pojok Sunyi RTM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima