Membaca Ulang Fenomena Keagamaan Kita



Entah sejak kapan agama berubah menjadi panggung, lengkap dengan tata lampu, kamera, dan penonton yang siap bertepuk tangan. Yang pasti, banyak dari kita kini menjalani agama seperti seorang aktor dalam sinetron panjang berjudul "Menuju Surga Lewat Feed Instagram". Sakralitas berubah jadi estetika. Spirit kitab suci berubah jadi kutipan status WhatsApp. Dan hidup beragama? Ah, cukup dijalankan asal terlihat, bukan dijalani karena sadar.

Padahal, bila kita tengok isi kitab suci, dari Al-Qur'an, Alkitab, Weda hingga Tripitaka, semuanya mengajak manusia untuk hidup jujur, adil, rendah hati, dan bertanggung jawab. Tapi kini, seolah-olah kitab suci hanya berguna untuk dibacakan saat seremoni, dikutip saat orasi politik, atau jadi senjata untuk menyerang yang berbeda pandangan.

Lalu kita bertanya-tanya, mengapa negeri ini sering gaduh soal agama? Mengapa kekerasan, pelecehan, bahkan pembunuhan bisa dilakukan atas nama iman? Jawabannya bisa jadi karena kita, sebagai umat beragama, semakin jauh dari esensi: menjadikan agama sebagai way of life, bukan style of life.

Di banyak kota, kita menyaksikan masjid megah berdiri gagah, tapi suara azan bersaing dengan suara makian di jalan. Di medsos, kita melihat ceramah viral berisi ajakan damai, bersanding dengan kolom komentar penuh ujaran kebencian. Di ruang publik, kita dengar orang bicara tentang cinta sesama, tapi di belakang meja, ia sibuk membakar fitnah.

Data Komnas HAM menunjukkan bahwa sepanjang 2023, terdapat lebih dari 70 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Sebagian besar muncul karena provokasi elite yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik. Agama dijadikan bendera, padahal yang diusung bukan iman, melainkan ambisi kekuasaan.

Para politisi kita pintar bermain narasi. Mereka tahu bahwa menyentuh urat agama bisa membangkitkan emosi. Maka tak heran, saat kampanye, ayat-ayat suci dibaca lebih lantang ketimbang visi-misi. Sementara saat terpilih, kitab suci disimpan di rak, digantikan oleh kitab lobi dan kepentingan.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kritik Peter L. Berger, sosiolog agama asal Austria, yang mengatakan bahwa modernitas sering mengikis makna sakral dalam kehidupan sosial. Agama menjadi semacam formalitas kultural yang dijalani demi legitimasi sosial, bukan karena kebutuhan spiritual. Berger menyebutnya sebagai proses desakralisasi, di mana simbol-simbol agama kehilangan kedalaman makna karena diseret ke ruang publik yang banal.

Dan kini, datanglah generasi baru: para milenial dan zilenial. Mereka adalah anak-anak gawai, lahir dengan jempol yang lebih aktif dari nalar, dan telinga yang lebih akrab dengan notifikasi daripada nasihat ulama. Praktik keagamaan mereka? Inovatif, eksperimental, dan tentu saja: instagramable.

Tengok saja fenomena kajian estetik. Ruang pengajian didesain ala kafe, lengkap dengan latte art dan lighting kekinian. Isi kajian seringkali hanya potongan-potongan motivasi yang lebih cocok jadi caption daripada jadi pegangan hidup. Ustaz-ustaz muda menjelma jadi selebgram. Ceramah dikemas seperti stand-up comedy. Tentu, tak ada yang salah dengan pendekatan baru—agama memang harus kontekstual. Tapi saat substansi dikalahkan oleh impresi visual, saat ajaran berubah jadi konten, kita patut bertanya: di mana suara Tuhan?

Belum lagi fenomena religiusitas narsistik. Ada yang pergi umrah—bukan untuk mendekat pada Tuhan, tapi mendekatkan diri ke follower baru. Foto di depan Ka’bah, diberi caption “MasyaAllah… speechless.” Tapi entah kenapa bisa sempat foto dari tujuh angle. Puasa bukan lagi soal menahan hawa nafsu, tapi ajang kontes buka puasa paling fancy. Zikir pun kini bisa disertai filter.

Sosiolog Clifford Geertz dalam studinya tentang agama di Jawa pernah menekankan bahwa keberagamaan harus dimaknai sebagai ethos, sebuah pandangan hidup yang membentuk watak dan perilaku sehari-hari. Tapi sayang, kini banyak dari kita yang menjadikan agama sebatas etos pertunjukan, bukan etos kehidupan.

Tak berhenti di situ, kita pun menyaksikan ironi dalam institusi keagamaan. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral publik, kadang justru terjebak dalam permainan kuasa. Beberapa oknum pemuka agama terseret kasus pelecehan seksual, korupsi dana umat, hingga kekerasan atas nama dakwah. Kita jadi bingung: siapa sebenarnya yang sedang berdakwah, dan siapa yang sedang berdalih?

Agama yang harusnya mempersatukan, kini justru menjadi pemicu konflik. Penyerangan terhadap rumah ibadah, pelarangan pembangunan gereja, pemaksaan keyakinan di lingkungan sekolah, hingga pembubaran acara keagamaan karena "tidak sesuai dengan nilai mayoritas"—semuanya menjadi catatan kelam dalam jurnal kebhinekaan kita.

Lalu muncul pembelaan klise: “Itu oknumnya, bukan agamanya.” Tapi bila kasus terus berulang, mungkin saatnya kita tidak hanya menyalahkan oknum, tapi mengevaluasi sistem. Mengapa mereka yang menyimpang bisa leluasa? Karena mungkin kita terlalu sibuk dengan kemasan, hingga lupa mengecek isi kotak.

Di tengah kegaduhan ini, sekelompok kecil tetap mencoba menjaga nyala lilin. Mereka diam-diam merawat esensi. Ada komunitas muda yang menggagas pengajian lintas iman, ada pula yang membentuk gerakan keagamaan yang fokus pada lingkungan, perdamaian, dan keadilan sosial. Mereka tidak tampil mencolok, tidak viral, tapi justru menjadi denyut harapan di tengah riuhnya ritual tanpa ruh.

Inilah saatnya kita membaca ulang iman kita, bukan sekadar membaca ulang kitab suci. Sebab kitab suci tak pernah berubah—yang berubah adalah cara kita memperlakukannya. Apakah ia menjadi cermin diri, atau sekadar alat menghakimi?

Agama, pada akhirnya, bukan soal siapa yang paling terlihat saleh. Tapi siapa yang paling mampu mencintai sesama manusia. Kitab suci bukan ditulis untuk diperebutkan siapa yang paling benar, tapi untuk dijalani bersama agar hidup jadi lebih bermakna. Sebab Tuhan tak butuh kita membela-Nya dengan kemarahan. Tuhan butuh kita menghadirkan-Nya lewat kebaikan.

Mari kita belajar lagi: bahwa Tuhan tidak mengintai dari balik kamera. Ia hadir dalam keheningan, dalam senyum tetangga, dalam kejujuran tukang parkir, dalam peluk anak yatim. Dan barangkali, dalam doa yang tidak pernah kita unggah, tapi sungguh-sungguh kita panjatkan.

Karena pada akhirnya, agama bukan tentang seberapa banyak kita bercerita tentang Tuhan, tapi seberapa nyata kita mencintai ciptaan-Nya.

Mataram, 10 Mei 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima