Membaca Ulang Relasi Perempuan dan Laki-Laki: Ketika Dunia Diatur oleh ‘Clon’

Di era modern ini, perempuan duduk di kursi DPR, memimpin universitas, bahkan menggenggam jabatan strategis di kementerian. Tapi, apakah itu berarti perempuan telah benar-benar merdeka? Atau, jangan-jangan mereka hanya sedang memainkan peran dalam panggung peradaban yang sejak awal dibangun dari naskah laki-laki?

Seperti sebuah boneka yang diberi dasi, perempuan hari ini memang tampak ‘berdaya’. Tapi kalau kita jujur membaca ulang panggung itu, peran-peran perempuan dalam sistem politik, pendidikan, bahkan agama sering kali tak lebih dari “male-clon” – perempuan yang dijadikan tiruan laki-laki agar bisa dianggap setara. Bukan menjadi dirinya sendiri, tapi menjadi perempuan dalam standar maskulin.

Simone de Beauvoir pernah bilang, "One is not born, but rather becomes, a woman." Tapi hari ini, kita lebih sering melihat perempuan yang "berhasil" justru adalah mereka yang menjadi laki-laki—dalam logika, dalam kepemimpinan, dalam cara mereka mengelola kuasa. Dunia ini, secara sadar atau tidak, memaksa perempuan untuk menyandang jas kebesaran laki-laki, karena hanya itu yang dianggap layak untuk disebut 'kemajuan'.

Pendidikan, misalnya. Bukankah sistem kita mengagungkan logika, rasionalitas, angka, dan kompetisi sebagai tolak ukur kecerdasan? Maka perempuan yang lembut, intuitif, spiritual, dan penuh empati—karakter yang justru sangat penting bagi keberlangsungan hidup dan keharmonisan—dianggap tidak cukup cerdas. Kecerdasan emosional dan spiritual yang secara alami dimiliki perempuan tidak mendapat tempat dalam sistem pendidikan yang maskulin, teknokratik, dan serba kuantitatif.

Ratna Megawangi pernah menyindir halus dalam “Membiarkan Berbeda”, bahwa dunia modern telah gagal memberi ruang bagi karakter perempuan yang sesungguhnya. Perempuan diberi kesempatan, ya. Tapi bukan sebagai perempuan, melainkan sebagai aktor-aktor laki-laki dalam tubuh perempuan. Dan kita menyebut itu emansipasi.

Sungguh ironis. Kita ingin membebaskan perempuan, tapi yang kita lakukan hanyalah membaptis mereka ke dalam sistem patriarkal dengan label “kesetaraan gender”. Seperti menyuruh kucing berkompetisi dengan anjing dalam lomba menggonggong, lalu menyalahkan kucing karena tak bisa menang.

Dalam ranah politik, kita merayakan kuota 30% perempuan di parlemen. Hebat? Mungkin. Tapi berapa banyak dari mereka yang bisa benar-benar membawa perspektif keperempuanan tanpa dikatai “lemah”, “terlalu emosional”, atau “tidak tegas”? Justru, untuk dianggap kompeten, mereka harus tegas, lugas, tanpa air mata—alias, lagi-lagi, menyerupai laki-laki.

Sachiko Murata dalam The Tao of Islam memberi kita lensa yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa Islam sebenarnya menyimpan keseimbangan kosmis antara aspek yin dan yang, antara prinsip maskulin dan feminin. Namun sejarah dan penafsiran manusia, lagi-lagi, lebih memilih suara yang keras daripada yang lembut. Suara laki-laki lebih sering dijadikan standar kebenaran, sementara suara perempuan hanya dianggap bisikan emosi atau, parahnya, gangguan syahwat.

Di sinilah muncul ironi yang lebih getir: perempuan di era modern tak pernah benar-benar hadir sebagai subjek utuh. Mereka hanya muncul sebagai ‘versi lain’ dari laki-laki. Seolah satu-satunya jalan menuju kemajuan adalah menyerah pada sistem yang dibangun di atas fondasi patriarki.

Padahal, jika kita mau belajar dari semesta, dari bumi, dari alam—semuanya bekerja dalam keseimbangan. Ada hujan, ada panas. Ada siang, ada malam. Ada tanah yang menerima, dan langit yang memberi. Dalam filosofi ecotheofeminisme, alam adalah cerminan prinsip perempuan: memberi kehidupan, menyuburkan, penuh cinta dan penerimaan. Tapi lihat bagaimana dunia memperlakukan alam? Sama seperti memperlakukan perempuan—dijarah, dieksploitasi, dan dikuasai.

Ecotheofeminisme mengajarkan bahwa penindasan terhadap perempuan dan penghancuran alam bersumber dari akar yang sama: patriarki yang serakah dan obsesif terhadap kuasa. Bumi bukan lagi Ibu, tapi tambang. Perempuan bukan lagi sumber kehidupan, tapi obyek yang harus dikendalikan.

Dan sungguh tragis, ketika gerakan perempuan hari ini justru ikut terjebak dalam logika kompetisi maskulin. Seminar tentang “perempuan pemimpin” lebih sering membahas how to be assertive, bukan how to embrace feminine values in leadership. Majalah perempuan menyarankan “power dressing” agar tampil percaya diri—bukan “power nurturing” agar memimpin dengan kasih.

Lalu kita bertanya: kenapa kekerasan terhadap perempuan tetap masif? Kenapa pelecehan seksual masih mengisi berita harian? Kenapa diskriminasi tidak surut meski sudah banyak “perempuan hebat” di layar kaca?

Karena yang berubah hanya kulit, bukan struktur. Karena kita hanya mengubah perempuan jadi ‘jantan’, bukan mengubah dunia jadi adil bagi yang lembut.

Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2023, terdapat 401.431 kasus kekerasan terhadap perempuan. Itu yang tercatat. Yang tak tercatat? Mungkin jumlahnya setara penduduk satu kota kecil. Dalam survei SAFEnet 2022, lebih dari 60% perempuan Indonesia di bawah usia 35 tahun mengaku pernah mengalami pelecehan berbasis gender di media sosial.

Namun dunia terus melaju seolah semua baik-baik saja. Para pembuat kebijakan sibuk mencetak “perempuan tangguh”, padahal mereka lupa: ketangguhan bukan satu-satunya jalan. Kasih sayang, kebijaksanaan, dan keberanian untuk tidak jadi seperti laki-laki justru jauh lebih dibutuhkan.

Kita telah mencetak perempuan yang sanggup duduk di kursi direktur, tapi gagal menciptakan masyarakat yang tidak mengobjektifikasi tubuh perempuan. Kita punya perempuan menteri, tapi tetap saja perempuan yang bersuara dianggap “emosional”. Kita punya dosen perempuan bergelar doktor, tapi ia harus menghadapi candaan seksis di ruang akademik: “Jangan galak-galak Bu, nanti gak laku.”

Sungguh, sistem ini begitu piawai menyulap perbudakan menjadi pencapaian.

Kini, saatnya kita membaca ulang: apakah kemajuan perempuan hari ini benar-benar lahir dari rahim perempuan, atau hasil operasi plastik sistem laki-laki? Apakah menjadi “hebat” berarti harus mengorbankan sisi feminin kita?

Jawaban yang jujur akan membuat kita malu. Karena ternyata, di balik semua kemajuan itu, perempuan masih harus menjerit dalam diam. Mereka masih diatur bagaimana berpakaian, bagaimana bicara, bagaimana berpikir. Bahkan dalam ruang ibadah pun, suara mereka dibatasi, tubuh mereka dipisahkan, dan tafsir mereka tak diakui.

Agama pun seringkali gagal membela. Bukan karena ajarannya, tapi karena penafsirnya. Seperti yang dikeluhkan oleh banyak teolog feminis, agama sering dipresentasikan dalam struktur yang terlalu vertikal dan maskulin: Tuhan sebagai lelaki tua yang pemarah, syariat sebagai aturan kaku, dan perempuan sebagai cobaan.

Padahal, Tuhan juga memiliki wajah Rahim—penyayang, memelihara, dan penuh kelembutan. Jika saja kita bersedia membuka lembaran spiritualitas dari sisi yang lebih holistik, bukan hanya normatif-legalistik, maka mungkin kita bisa melihat bahwa ketuhanan pun mengandung unsur feminin yang selama ini dipinggirkan.

Jadi, mungkin, sudah saatnya perempuan berhenti menjadi ‘male-clon’. Sudah waktunya perempuan tidak hanya ‘masuk sistem’, tapi membongkar sistem. Sudah waktunya kita menulis ulang peradaban—bukan dengan pena maskulin, tapi dengan tinta kasih sayang, spiritualitas, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Dan jika dunia ini terus menertawakan itu semua, biarkan saja. Karena seperti bumi, perempuan juga tahu caranya diam, menunggu, lalu meledak jadi perubahan yang tak bisa dihentikan.

Mataram, 01 Mei 2025

Sebatang Rokok dan Secangkir Kopi
Ruang Tumbuh Merdeka 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima