Tuhan Telah Berdosa (Good Has Sinned)


Tuhan telah berdosa.

Begitu bisik seseorang mahasiswa yang pernah di ajar ketika komunikasi lewat WA—ia bukan ateis, bukan pula pendosa kelas berat. Ia adalah salah satu yang resah dengan keadaan ini. 

Ia bercerita tentang seorang korban kekerasan dan pelecehan seksual. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang sedang menatap langit sambil menggigil, menahan sesak, menggenggam jilbabnya yang robek di tangan. Di matanya, Tuhan tampak lelah. Ia bertanya, “Kenapa pelakunya bukan orang pasar atau orang mabuk, melainkan ustaz yang mengajarkan ayat demi ayat, yang bibirnya penuh sabda cinta, tapi tangannya—setan?”

Di NTB, khusunya di Pulau Lombok, di tengah semarak shalawat dan suara adzan, tubuh-tubuh perempuan dan anak-anak ditinggalkan dengan trauma yang sunyi. Lembaga pendidikan berbasis agama, yang diharapkan menjadi benteng moralitas, justru menjadi tempat paling gelap. Universitas Islam, pesantren megah, madrasah unggulan—semuanya berdiri di atas nama Tuhan. Tapi di sudut-sudut kamarnya, air mata menetes pelan, menunggu keadilan yang tak pernah datang.

“Aku melaporkan. Tapi yang terjadi adalah aku disalahkan,” kata seorang mahasiswi kepada media lokal. “Katanya, aku yang menggoda. Katanya, aku kurang memproteksi diri. Katanya, aku harus sabar dan berdamai dengan diri dan situasi”

Begitu mudahnya ayat digunakan sebagai tameng. Dalil-dalil seperti busa sabun, mencuci tangan para pelaku dari darah. "Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan" (QS. An-Nisa: 34), katanya. Tapi ayat itu dicabik dari konteks, dibunuh maknanya, dan dijadikan alasan menginjak harga diri perempuan. Maka, benar jika korban berbisik: Tuhan telah berdosa. Atau, lebih tepatnya, Tuhan sedang dijadikan berdosa oleh manusia.

Religiusitas Formal, Moralitas Tanpa Jiwa

Kasus kekerasan seksual di NTB yang meningkat—terutama di lembaga pendidikan Islam—menyimpan ironi besar. Di satu sisi, masyarakat sangat religius. Di sisi lain, kekerasan seksual justru marak. 

Kita harus jujur: banyak di antara pelaku memiliki latar belakang pendidikan agama. Mereka hafal ayat-ayat, fasih membaca hadis, bahkan jadi panutan masyarakat. Tapi ilmunya tidak mengendap jadi akhlak. Ia hanya jadi ornamen, badge of honor, yang dipakai untuk menipu. Mereka paham dalil, tapi hatinya mati.

Menurut Prof. Lies Marcoes, seorang antropolog dan aktivis perempuan, religiusitas tanpa kesadaran etis justru bisa melahirkan kekerasan. Dalam ceramahnya, ia pernah berkata: “Ketika agama hanya menjadi simbol dan tidak menjadi ruang refleksi moral, maka ia bisa menjadi alat kekuasaan yang paling kejam.”

Dan itu terjadi. Agama dijadikan alat dominasi. Ustaz adalah raja. Kiai adalah dewa. “Tidak mungkin beliau melakukan itu. Dia kan orang suci,” kata para pengikut. Tapi mereka lupa, Tuhan tidak pernah menunjuk siapa pun sebagai pengganti-Nya di bumi. Dan kesucian tidak diwariskan lewat sorban.


Kita hidup dalam zaman ketika Tuhan dipasarkan. Ia dijual lewat slogan-slogan motivasi, ceramah-ceramah viral, dan baliho pendidikan agama. Tapi semakin sering Tuhan disebut, semakin Dia dikerdilkan. Tuhan bukan lagi entitas spiritual, tapi branding.

Pesantren megah yang menampung ribuan santri dari seluruh Indonesia berlomba membangun gedung bertingkat, bukan akhlak bertingkat. Di dalamnya, beberapa ustaz menjadikan wibawanya sebagai jaring laba-laba. Mereka memilih korban yang lugu, menjebaknya dengan ayat, lalu menutup mulutnya dengan ancaman: “Kalau kamu lapor, nama baik pesantren hancur. Mau tanggung jawab?”

Di ruang pengadilan, korban dianggap mencoreng marwah Islam. Padahal, yang mencoreng adalah mereka yang memakai jubah untuk menutupi hasrat binatangnya. Dalam banyak kasus, pelaku bahkan tidak diadili. Ia hanya “dipindahkan” ke lembaga lain. Dan luka? Tetap menganga.


Tuhan telah berdosa—bukan karena Dia melakukan dosa, tapi karena nama-Nya dipakai untuk melegitimasi dosa. Kita memuja Tuhan, tapi lupa pada ajaran-Nya. Kita takut pada neraka, tapi tidak takut menyakiti manusia.

Di NTB, lebih dari satu kasus kekerasan seksual dilakukan oleh guru mengaji, oleh dosen, oleh pembina rohani kampus. Satu korban bahkan berkata, “Dia bilang, ini untuk membersihkan jiwaku. Ia bilang ini terapi ruhani.” Di mana letak Tuhan dalam tindakan itu?

Kita butuh keberanian untuk menyebut ini: agama sedang sakit, dan para pelakunya memakai Tuhan sebagai alibi. Kita tidak sedang menyalahkan agama, tapi kita ingin menyelamatkannya dari penjahat bersorban. Jangan lagi ada dalil untuk membenarkan kekerasan. Jangan lagi ada hadis yang dikutip untuk membungkam korban. Jangan lagi kita membiarkan Tuhan jadi kambing hitam.

Refleksi: Saatnya Mengembalikan Tuhan ke Tempat-Nya

Di tengah semua ini, kita perlu merenung: Tuhan tidak pernah memerintahkan pelecehan. Tuhan tidak mengajarkan kekerasan. Tuhan tidak menyuruh manusia mencabik tubuh orang lain atas nama “mendidik”.

Tuhan adalah kasih sayang. Dan siapa pun yang mengatasnamakan Tuhan tapi menyakiti ciptaan-Nya, sesungguhnya sedang menghina Tuhan.

Kita harus menyelamatkan agama dari para penjahat bermoral semu. Kita harus menghidupkan kembali akhlak dalam pendidikan agama. Kita harus menanamkan bahwa Tuhan bukan alat kekuasaan. Tuhan bukan tameng. Tuhan bukan komoditas.

Dan untuk para korban yang berkata, “Tuhan telah berdosa”—maafkan kami. Bukan Tuhan yang berdosa, tapi kami, manusia, yang mencemari nama-Nya.

Kini, saatnya kita bertanya bukan kepada Tuhan, tapi kepada diri sendiri: Masihkah kita pantas menyebut nama-Nya, jika kita terus membiarkan nama-Nya dipakai untuk menyakiti yang lemah?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFESSOR: Antara Gelar Akademik atau Popularitas Akademik?!

Perempuan, Buruh, dan Ketahanan Pangan: Sebuah Refleksi dari Dapur Hingga Sawah

Ina Ku Dana, Ama Ku Langi: Membaca Ulang Relasi Gender dalam Tradisi Spiritual Bima