Postingan

Tuhan Telah Berdosa (Good Has Sinned)

Gambar
Tuhan telah berdosa. Begitu bisik seseorang mahasiswa yang pernah di ajar ketika komunikasi lewat WA—ia bukan ateis, bukan pula pendosa kelas berat. Ia adalah salah satu yang resah dengan keadaan ini.  Ia bercerita tentang seorang korban kekerasan dan pelecehan seksual. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang sedang menatap langit sambil menggigil, menahan sesak, menggenggam jilbabnya yang robek di tangan. Di matanya, Tuhan tampak lelah. Ia bertanya, “Kenapa pelakunya bukan orang pasar atau orang mabuk, melainkan ustaz yang mengajarkan ayat demi ayat, yang bibirnya penuh sabda cinta, tapi tangannya—setan?” Di NTB, khusunya di Pulau Lombok, di tengah semarak shalawat dan suara adzan, tubuh-tubuh perempuan dan anak-anak ditinggalkan dengan trauma yang sunyi. Lembaga pendidikan berbasis agama, yang diharapkan menjadi benteng moralitas, justru menjadi tempat paling gelap. Universitas Islam, pesantren megah, madrasah unggulan—semuanya berdiri di atas nama Tuhan. Tapi di ...

Intelektual Organik Vs Akademisi Penuh Gimik

Gambar
Beberapa dekade lalu, kuliah adalah simbol perjuangan. Anak desa merantau ke kota, mengayuh sepeda, membawa bekal dari kampung, mengendap-endap ke perpustakaan demi membaca buku yang hanya ada satu eksemplar. Mereka kuliah karena lapar—bukan lapar pujian, tapi lapar pengetahuan. Kini, kampus tak ubahnya catwalk. Gelar adalah asesoris, bukan kesadaran. Foto wisuda lebih penting dari isi skripsi. S2 dijadikan bahan konten, S3 jadi alat branding. Ilmu? Ah, itu bonus. Yang penting eksis. Fenomena ini bukan dongeng. Ia hidup dan berdetak di setiap sudut ruang kuliah. Tak percaya? Coba tanya mahasiswa hari ini: mengapa kuliah? Sebagian akan menjawab: “Biar gampang dapat kerja.” Sebagian lagi, “Biar keren di CV.” Yang menjawab “karena ingin tahu dan mengubah dunia” akan dipandang aneh. Hari ini, yang idealis dianggap utopis, yang gimik dianggap realistis. Kita sedang hidup di era ketika pengetahuan bukan lagi soal isi, tapi bungkus. Perkuliahan bukan lagi upaya menggugat realitas,...

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Keluarga: Akar Sunyi di Balik Riuhnya Kriminalitas di Bima

Gambar
Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bima dihebohkan dengan berbagai aksi liar yang mendadak menjadi pemandangan sehari-hari: pemanahan misterius di malam hari, tawuran antar kampung yang menyulut dendam berkepanjangan, pemblokiran jalan yang melumpuhkan aktivitas sosial-ekonomi, hingga pembabatan hutan secara liar demi membuka lahan pertanian darurat. Banyak yang menyalahkan anak muda sebagai biang keroknya. Tapi, benarkah persoalan ini hanya soal kenakalan remaja? Jika kita tarik napas dalam dan menengok lebih jauh, akar dari kerusuhan dan kekerasan ini sesungguhnya tumbuh dari tanah yang retak—tanah yang kehilangan daya topang karena rapuhnya ketahanan pangan dan runtuhnya ketahanan keluarga. Dua pilar ini sejatinya merupakan fondasi utama dalam membentuk tatanan sosial yang damai dan seimbang. Ketika keduanya melemah, masyarakat, khususnya generasi muda, menjadi rentan terhadap pelampiasan destruktif sebagai ekspresi ketidakberdayaan. Bima yang Lapar: Lahan Luas, Pe...

Membaca Ulang Fenomena Keagamaan Kita

Gambar
Entah sejak kapan agama berubah menjadi panggung, lengkap dengan tata lampu, kamera, dan penonton yang siap bertepuk tangan. Yang pasti, banyak dari kita kini menjalani agama seperti seorang aktor dalam sinetron panjang berjudul "Menuju Surga Lewat Feed Instagram". Sakralitas berubah jadi estetika. Spirit kitab suci berubah jadi kutipan status WhatsApp. Dan hidup beragama? Ah, cukup dijalankan asal terlihat, bukan dijalani karena sadar. Padahal, bila kita tengok isi kitab suci, dari Al-Qur'an, Alkitab, Weda hingga Tripitaka, semuanya mengajak manusia untuk hidup jujur, adil, rendah hati, dan bertanggung jawab. Tapi kini, seolah-olah kitab suci hanya berguna untuk dibacakan saat seremoni, dikutip saat orasi politik, atau jadi senjata untuk menyerang yang berbeda pandangan. Lalu kita bertanya-tanya, mengapa negeri ini sering gaduh soal agama? Mengapa kekerasan, pelecehan, bahkan pembunuhan bisa dilakukan atas nama iman? Jawabannya bisa jadi karena kita, sebagai ...

Kopi dan Spiritualitas: Memahami Hidup dari segelas Kopi

Gambar
Pagi masih menguap. Udara belum sepenuhnya sadar dari mimpi-mimpi malam. Tapi cangkir kopi di meja saya sudah mengaji lebih dulu. Ia mengepul pelan, seperti sedang berdoa. Aromanya tajam, lebih tajam dari kata-kata ustaz yang kadang terlalu manis sampai bikin kita ngantuk. Di sinilah saya menyadari: kopi bukan sekadar minuman, tapi medium spiritual yang menyapa jiwa, menampar kantuk, dan menyalakan semangat yang kadang padam karena rutinitas yang lebih membosankan dari sinetron kejar tayang. Orang-orang dulu mungkin berdzikir di atas sajadah, sekarang ada yang berdzikir di atas gelas kopi. Jangan salah, Tuhan tidak terlalu repot soal media. Asal niatnya lurus, jalan apapun bisa jadi ibadah. Dan kopi—entah kenapa—punya kemampuan untuk membawa kita pada percakapan-percakapan terdalam dengan diri sendiri. Bahkan kadang, dengan Tuhan. Saya pernah duduk berjam-jam di sebuah warung kopi tua di sudut kampung. Tak ada wifi, tak ada colokan, hanya percakapan dan uap kopi. Di sana, s...

LGBT dan Hilangnya Citra Falsafah Maja Labo dahu di Dana Mbojo Ma Mbari

Gambar
Tanah Mbojo. Tanah yang katanya berakar kuat pada falsafah luhur: Maja Labo Dahu—malu dan takut. Malu berbuat salah, takut kepada Tuhan. Sebuah filosofi yang bukan sekadar semboyan kosong tertulis di gapura kota, tapi dulunya adalah roh dalam tiap denyut kehidupan masyarakat Bima. Tapi kini, adakah kita masih mendengar denyut itu? Di sebuah kafe pinggir kota, tampak dua remaja laki-laki berpelukan mesra. Tak jauh dari mereka, sekelompok pemuda dengan dandanan flamboyan tertawa lepas, mengabadikan momen mereka di TikTok, Facebook. Tak ada lagi rasa rikuh. Tak ada lagi wajah menunduk. Tak ada lagi maja, dan dahu pun tinggal kenangan. Wajah-wajah itu tak asing. Mereka bukan pendatang. Mereka anak-anak Mbojo. Mereka cucu dari mereka yang dulu tak berani bersuara keras pada malam hari karena takut mengganggu adab langit. Dulu, jika seorang anak muda kedapatan memegang tangan lawan jenis tanpa akad, itu sudah cukup menjadi aib tiga generasi. Tapi kini, pelanggaran moral tak hanya...

Dia Bernama Ayah (Ama)

Gambar
Kadang kita terlalu sibuk mengejar mimpi hingga lupa bahwa ada seseorang yang dulu diam-diam menukar mimpinya agar kita bisa meraih mimpi kita. Ia tidak banyak bicara, bahkan seringkali terlihat dingin. Tapi dari pundaknya kita belajar arti tanggung jawab. Dari diamnya kita tahu bahwa cinta tak selalu harus berbentuk kata. Dia adalah Ama (Ayah). Sosok yang tidak pernah meminta dikenang, tapi layak kita kenang setiap saat. Ayah itu seperti gunung. Kuat, kokoh, dan tak tergoyahkan. Ia tidak bercerita tentang betapa lelahnya ia, tapi kita tahu dari kerut wajahnya bahwa ada banyak malam yang tak ia nikmati, banyak siang yang ia tukar dengan peluh. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anaknya. Ia percaya, tugasnya bukan membuat dunia mudah untuk dirinya, tapi menciptakan jalan agar dunia jadi lebih baik untuk anak-anaknya. Aku masih ingat, waktu kecil, aku seringkali tidak mengerti mengapa ayah selalu pulang larut malam. Kadang saat aku sudah tidur, kadang ketika aku sudah bosan...

AISYAH BINTI ABU BAKAR R.A: ISTRI SANG PENCERAH YANG MEMBAKAR SPIRIT PERLAWANAN PEREMPUAN ATAS NAMA KEADILAN

Gambar
Di tengah gempita tafsir keagamaan yang kerap menjadikan perempuan sebagai ‘penghias’ sejarah, Aisyah binti Abu Bakar tampil bukan hanya sebagai istri Nabi, tetapi sebagai narasi hidup dari sebuah perlawanan. Bukan perlawanan dengan pedang semata, melainkan dengan pikiran, keberanian, dan—yang jarang diakui para muarrikh konservatif—nyali politik. Aisyah bukanlah perempuan yang hanya pandai meriwayatkan hadith; ia tahu kapan harus mengajarkan kesabaran dan kapan harus melawan kebengisan. Ketika Usman bin Affan dibunuh dan darahnya belum kering di Madinah, Aisyah bangkit. Ia tidak berdiri di balik tirai, tapi berada di atas pelana unta merahnya, memimpin barisan, menggugat kekuasaan yang diam atas darah khalifah ketiga. Membaca Gerakan Aisyah: Bukan Soal Kekuasaan, Tapi Soal Keadilan Sejarah menyimpan aroma kuat bahwa gerakan Aisyah bukan karena ambisi pribadi atau rasa iri pada Ali bin Abi Thalib—sebagaimana banyak dituduhkan dalam narasi-narasi patriarkal. Ia b...

Ki Hajar Dewantara: Guru Bangsa yang di-DO Universitas

Gambar
Bayangkan, seorang mahasiswa di-DO dari universitas karena dianggap "mengganggu ketertiban". Bukan karena narkoba, bukan karena bolos, tapi karena menulis dan berbicara terlalu lantang menentang penjajahan. Dialah Ki Hajar Dewantara—seorang pemuda cerdas yang justru diusir dari ruang akademik karena pikirannya terlalu tajam untuk zaman itu. Ironisnya, kini ia dipuja-puja sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Foto beliau dipasang di ruang kelas, namanya dipakai untuk jalan, sekolah, bahkan kementerian. Tapi pertanyaannya: apakah semangat pendidikannya masih hidup, atau hanya jadi nama yang terjebak dalam bingkai? Ki Hajar pernah menulis, "Jika aku menjadi orang Belanda, aku tidak akan merayakan kemerdekaan di negeri yang belum merdeka." Tulisan ini menyebabkan ia dibuang ke Belanda. Tapi dari sanalah lahir teori pendidikan yang mendobrak: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Di depan memberi teladan, di tengah memb...

Hari Pendidikan Nasional: Momentum Seremonial atau Momen Substansial?

Gambar
Tanggal 2 Mei kembali datang, dan seperti biasa, kita diingatkan oleh serangkaian kegiatan yang tampak meriah: upacara bendera, parade siswa dengan pakaian adat, pidato menteri yang seolah lahir dari ruang pemikiran transendental, dan unggahan media sosial penuh haru biru dengan tagar #Hardiknas. Di balik semua euforia ini, mari kita jujur dan bertanya: benarkah kita sedang merayakan pendidikan, atau hanya memperingatinya seperti kita memperingati hari jadi sebuah toko kelontong? Setiap tahun, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) datang dengan bungkusan seremonial yang rapi. Tapi seperti kado yang indah namun kosong di dalam, perayaannya kerap tidak lebih dari pertunjukan panggung: panggung media, panggung birokrasi, panggung kepalsuan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi produk rasionalitas tertinggi manusia dalam membangun peradaban, justru direduksi menjadi peristiwa simbolik tanpa evaluasi serius atas kondisi aktualnya. Seolah yang penting adalah terlihat peduli, bukan benar-benar ...